Lihat ke Halaman Asli

Catatan Seorang Penerjemah Buku (Atlantis - The Lost Continent Finally Found: Indonesia Ternyata Tempat Lahir Peradaban Dunia)

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebagai sarjana arkeologi, menerjemah buku ini menjadi kebanggaan untuk saya. Dalam artikel ini saya tidak bermaksud mengatakan pendapat saya mengenai benar tidaknya Indonesia adalah Atlantis. Saya hanya berupaya menuliskan beberapa catatan tentang karya geolog dan fisikawan Brazil sembari membaca ulang bukunya di sela-sela waktu kerja dan kuliah pascasarjana.

Masa menerjemah karya ini adalah masa belajar yang padat dengan mencari informasi di dunia maya, waktu-waktu di mana saya harus membaca banyak referensi, dan periode yang penuh upaya memahami pemecahan teka-teki ala Santos. Masa-masa dengan banyak “ooo…” Sudah dua tahun lewat dan banyak konten buku ini yang sudah lepas dari ingatan saya.

Darwinisme No Way

Buku ini adalah tendangan manis berbuah gol bagi orang-orang yang tidak sepakat dengan teori Darwin tentang evolusi, terutama ketika Santos berbicara tentang manusia-manusia raksasa dan manusia kerdil dengan segala jenisnya (Homo Sapien, Cro Magnon, Homo Floriensis, dsb). Mungkin, kalau mereka bisa disebut manusia dengan sifat-sifat seperti yang melekat pada kita, pada zaman dulu ada BERMACAM MANUSIA dengan ciri fisik dan kemampuan yang berbeda. Santos berjasa menjelaskan keberadaan dan proses punahnya mereka dari muka bumi.

Mereka, seperti terbukti dari fosil-fosil yang ditemukan di banyak sudut bumi ini, memang PERNAH ADA. TAPI, mereka tidak berevolusi menjadi KITA yang sekarang: KITA bukan keturunan MANUSIA KERA. Mereka menghilang dari muka bumi karena bencana, karena keterbatasan fisik dan daya tahan. Bisa jadi ada sesuatu yang membedakan kita dari nenek moyang kita, misalnya TINGGI BADAN (mungkin ada yang pernah mendapat informasi bahwa tinggi badan Nabi Nuh mencapai 30 meter), yang kalaupun benar menurut saya itu adalah sebuah evolusi untuk adaptasi ekologis, dan ini tentu saja berbeda jauh dengan EVOLUSI MANUSIA seperti yang dikemukakan Darwin.

Inilah tautan (link) yang hilang, yang mungkin sempat menjadi pertanyaan para pemerhati dan pemikir yang menentang Darwinisme.

Sekadar selingan. Dulu, sewaktu masih menjadi mahasiswa arkeologi, saya dan sahabat pernah berpikir, mungkinkah salah satu MANUSIA KERA itu adalah mereka yang dikutuk karena melanggar perintah untuk mensucikan hari Sabtu (Sabath)? Sayangnya, sampai sekarang saya belum menemukan sumber yang menjelaskan hakikat “KERA” yang dimaksud: apakah wujud mereka benar-benar seperti kera yang kita lihat sekarang ataukah seperti apa. Ini juga harus diselaraskan dengan penanggalan, lokasi temuan, dan konteks lainnya. Tapi tampaknya ini hanya khayalan tak logis saya :)

Sosok Sama Citra Berbeda

Kalau Anda sempat menonton tayangan Metro TV tentang Solomon dan Saba (Sulaiman dan Ratu Saba) hampir dua tahun lalu, mungkin Anda seperti saya: terkaget-kaget. Karena apa yang saya dapat dari sudut pandang Islam tentang mereka berdua sangat jauh dengan apa yang saya lihat di layar. Kisah Solomon dan Saba begitu “vulgar” jauh dari nilai suci dan agung yang selama ini saya dapati. Begitu juga ketika saya membaca komik peradaban yang di dalamnya ada kisah tentang David (Daud), Alexander the Great (Iskandar Zulkarnain) dsb. Tapi, inilah perbedaan yang mesti kita ketahui dan kita tanggapi dengan bijak. Tidak serta merta kita harus menindaklanjuti dengan sikap ekstrim: lingkungan dan apa yang kita baca memengaruhi sudut pandang dan pengetahuan kita, bukan? Dan bukan rahasia kalau beberapa umat yang mengenal beberapa nabi yang sama memiliki pandangan yang berbeda bagai bumi dan langit terhadap sosok-sosok tersebut.

Melalui buku ini, secara tidak langsung, Santos mengajak kita (jika Anda Muslim) mengarungi pemikiran bangsa dan umat lain tentang Musa, tentang Solomon, tentang Iskandar Zulkarnain. Harap dicatat di sini, Santos adalah seorang Brazil yang secara pribadi dan lingkungan tidak akrab dengan Islam (Inilah salah satu yang kurang di buku ini, namun tidak berarti buku ini tidak penting. BUKU INI SANGAT PENTING, kalau bukan A MUST READ). Jelas saja Santos banyak meninjau dari tradisi Hindu dan mitos Yunani-Romawi: mengetahui tradisi Hindu adalah keniscayaan bagi peneliti arkeologi mana pun, sementara mitos-mitos Yunani dan Romawi merupakan sesuatu yang akrab di telinga orang di belahan barat sana dan mesti dikaji dalam kaitannya dengan Atlantis (salah satunya) karena Plato seorang Yunani.

Jadi, ketika Anda yang Muslim menemukan hal-hal yang menurut Anda tidak sesuai dengan apa yang Anda yakini, berpikirlah out of the box karena sepanjang yang saya alami, apa yang diuraikan buku ini malah menguatkan keyakinan beragama saya tanpa menghilangkan kepercayaan saya akan keabsahan dan validitas penelitian Santos.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline