Lihat ke Halaman Asli

[Perang Bubat] Kemelut Masa Lalu yang Masih Menyisakan Kabut

Diperbarui: 19 Maret 2023   19:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Lazada.co.id

Pada tahun 1279 Saka atau 1375 Masehi, sejarah mencatat jejak kelam yang masih tak terhapus hingga saat ini. Lapangan Bubat menjadi saksi bisu perang antara dua kerajaan yang berakhir begitu tragis. Banyak nyawa melayang, darah berceceran, dan sukma terkoyak karena belapati. Perang antara rombongan keluarga Kerajaan Sunda dengan Pasukan Mahapatih Gajah Mada ini kemudian dikenal oleh masyarakat luas sebagai Pasundan-Bubat atau Perang Bubat.

Kronologi bagaimana terjadinya perang ini memiliki beberapa versi. Namun, yang paling terkenal berdasarkan Serat Pararaton, Kidung Sundayana, dan Carita Parahyangan adalah awal mula perang ini terjadi ketika putri dari Pasundan, Dyah Pitaloka Citraresmi, hendak dipersunting oleh penguasa dari Majapahit, Raja Hayam Wuruk. Atas permintaan Raja Hayam Wuruk, pernikahan akan dilaksanakan di Majapahit. 

Raja Linggabuana, ayah dari Dyah Pitaloka, tak keberatan dan membawa rombongan keluarga Kerajaan Sunda ke Majapahit. Akan tetapi, Gajah Mada yang menjadi Patih Amangkubhumi pada saat itu salah menafsirkan pernikahan ini sebagai strategi politik. Ia melihat kesempatan untuk menaklukan Pasundan dan memanfaatkan situasi ini untuk memenuhi ambisinya mewujudkan Sumpah Palapa.

Sesampainya di Majapahit, rombongan keluarga Kerajaan Sunda mendirikan pesanggrahan di Lapangan Bubat. Di sana bukannya mendapatkan sambutan baik dari tuan rumah, rombongan itu justru mendapat reaksi keras dari Gajah Mada mengklaim sepihak kedatangan Dyah Pitaloka sebagai penyerahan upeti tanda takluknya Sunda ke Majapahit. 

Keluarga dan pembesar Kerajaan Sunda tak terima dan memilih mati demi martabat daripada harga diri mereka diinjak-injak. Pecahlah perang antara keluarga Kerajaan Sunda dan tentara Majapahit di bawah pimpinan Gajah Mada di Lapangan Bubat.

Peristiwa tragis itu menyisakan dampak yang masih begitu terasa hingga saat ini. Kematian seluruh rombongan dari Pasundan termasuk Dyah Pitaloka Citraresmi yang melakukan belapati meninggalkan kesedihan mendalam bagi rakyat Sunda. Sejak saat itu, munculah mitos larangan menikah bagi perempuan Sunda dengan laki-laki Jawa. 

Masyarakat Sunda percaya bahwa pernikahan antara orang Sunda dan Jawa akan berlangsung tidak harmonis dan dipenuhi prahara. Bahkan, adik dari Raja Linggabuana yaitu Mangkubhumi Hyang Bunisora Suradipati secara tegas mengeluarkan aturan esti ti luaran atau larangan mengambil istri dari luar, khususnya Majapahit.

Selain munculnya mitos tersebut, hubungan diplomatik antara Sunda dan Majapahit juga terputus. Dua kerajaan ini memiliki ikatan kekerabatan melalui pernikahan Dyah Lembu Tal, ibu pendiri Majapahit, dengan Rakeyan Jayadarma yang berdarah Sunda. 

Rencana pernikahan antara Raja Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka Citraresmi awalnya juga bertujuan untuk mempererat hubungan antara dua kerajaan ini. Namun, karena tindakan ceroboh dari Mahapatih Gajah Mada yang dilakukan tanpa persetujuan Raja Hayam Wuruk malah membuat hubungan Sunda dan Majapahit kian memanas.

Sejak terjadinya perang itu, Raja Hayam Wuruk tak lagi menaruh kepercayaan besar kepada Gajah Mada. Rusaknya hubungan Sunda dan Majapahit menyebabkan Sumpah Palapa yang diikrarkan oleh Gajah Mada tidak dapat terealisasikan seutuhnya. 

Hal inilah yang menyebabkan jabatan Patih Amangkubhumi itu goyah dan berakhir mengasingkan diri di Madarikapura. Sebaliknya, Raja Linggabuana dan pembesar Kerajaan Sunda yang gugur di Perang Bubat dianggap sebagai pahlawan oleh masyarakat Sunda.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline