Lihat ke Halaman Asli

Membuka Jejak Peradaban Kutai Kuno

Diperbarui: 18 Februari 2023   07:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Sebuah artefak berbentuk kalung berdesain cantik ditemukan di Kutai Martadipura, kerajaan yang ditaklukan oleh Kutai Kartanegara. Kalung itu kemudian dibawa ke hadapan Sultan Kutai Kertanegara sebagai harta taklukan, Sang Sultan mengenakan kalung itu dalam acara kenegaraan. Namun, seorang peneliti dari Belanda yang datang ke Hindia Belanda menemukan kejanggalan pada kalung itu. Herman Von de Wall (1807 - 1873) merasa heran sebab kalung milik Sultan Kutai itu memiliki corak Hindhu yang kental dalam desainnya. Ia lalu menyisir tempat pertama kali kalung itu ditemukan dan berhipotesis bahwa ada jejak kerajaan Hindhu di sana.

Sumber: Grid.ID

Kurang dari 50 tahun kemudian, pada tahun 1879 hipotesis itu terbukti benar. Telah ditemukan 4 prasasti berbentuk Yupa atau tonggak batu di Bukit Beubus, Muara Kaman, Kutai, Kalimantan Timur. Prasasti-prasasti itu lalu dikirim ke Batavia dan pada tahun 1940, ditemukan kembali 3 prasasti lainnya di tempat yang sama. Ketujuh prasasti itu kemudian diteliti oleh epigraf dan diidentifikasi.

Ketujuh prasasti tersebut diberi nama Prasasti Muara Kaman yang menggunakan Bahasa Sansekerta dan aksara Pallawa awal. Para peneliti memperkirakan prasasti ini berasal dari abad ke-4 hingga 5 Masehi dan menyebut prasasti ini sebagai tulisan tertua di Nusantara. Otomatis, kerajaan yang tercantum pada prasasti ini juga disebut sebagai kerajaan tertua di Nusantara. Para ahli kemudian menamai kerajaan ini sebagai Kutai Kuno, dengan mengambil nama tempat ditemukannya Prasasti Muara Kaman. Kini prasasti-prasasti tersebut disimpan dalam Museum Nasional di Jakarta.

Prasasti Muara Kaman I berisi silsilah Raja Mulawarman. Kakek dari Mulawarman bernama Kundungga, disinyalir sebagai pendiri Kerajaan Kutai Kuno. Nama Kundungga diidentifikasi sebagai nama asli Nusantara, sehingga muncul spekulasi bahwa dulunya Kundungga merupakan seorang kepala suku di Muara Kaman yang membuka diri pada pengaruh Hindhu. Kundungga berputerakan Aswawarman. Dalam Prasasti, Aswawarman disebut Wangsakarta atau pendiri dinasti.

Dari Prasasti yang sama, disebutkan nama penerus Aswawarman yaitu Mulawarman. Raja bergelar Sri Maharaja ini merupakan raja termasyhur dari Kutai Kuno. Kebesarannya diabadikan dalam ketujuh prasasti, masing-masing menceritakan betapa piawainya ia dalam memimpin sebuah kerajaan. Di Prasasti Muara Kaman I diceritakan bahwa Mulawarman mengadakan bahusuwarnnakam atau upacara keagamaan. Untuk mengingat kebesaran raja, para Brahmana lantas mendirikan Yupa sebagai tanda peringatan.

Selain mengadakan bahusuwarnnakan, Raja Mulawarman juga memberikan persembahan kepada para brahmana. Jumlahnya dinilai sangat fantastis, sebanyak 20.000 ekor sapi diserahkan pada brahmana di Waprakeswara atau tempat suci peribadatan. Raja satu ini memang kerap kali memberi persembahan atau sedekah. Di prasasti lainnya, Raja Mulawarman juga mempersembahkan 40.000 dan 30.000 sesuatu yang tidak terbaca karena aus.

Sumber: Detikcom

Kekayaan raja yang sebegitu banyak tak mungkin datang begitu saja. Dalam Prasasti Muara Kaman VII disebutkan bahwa Sang Raja menaklukan raja-raja yang lain, salah satunya bernama Yudhistira. Penggunaan istilah raja-raja  di sini mengindikasikan bahwa pada masa itu, kerajaan yang mendapatkan pengaruh Hindhu bukan hanya Kutai Kuno. Dari penaklukan tersebut, upeti dari kerajaan yang takluk dapat dinilai sebagai sumber kekayaan bagi Kutai Kuno.

Berdasarkan analisis dari prasasti, para Raja Kutai Kuno diduga menganut Hindhu Weda awal. Hal ini terkait dengan penyebutan Aswawarman sebagai Angsuman atau Dewa Matahari dalam kepercayaan Hindhu Weda. Selain itu, Mulawarman juga disebut sebagai kalpa atau pohon kosmis pengabul keinginan. Sehingga, kepercayaan Raja Kutai Kuno juga dapat dikaitkan dengan Austronesia, kepercayaan asli yang meninggalkan banyak jejak sejarah di Asia Tenggara.

Fakta unik kerajaan ini, raja-rajanya tidak pernah mengeluarkan prasasti. Sebab, semua Prasasti Muara Kaman dikeluarkan oleh pendeta sebagai bentuk tanda bakti atas kebaikan raja. Setelah era pemerintahan Mulawarman, tidak ditemukan prasasti dari era penerusnya. Kemampuan membangun candi juga belum ditemukan di era Kutai Kuno. Tempat suci untuk beribadahpun hanya berupa Waprakeswara, atau tanah suci yang ditinggikan.

Selain keunikan tersebut, teori keruntuhan kerajaan ini juga masih santer dipertanyakan. Kitab Salasila Kutai mencatat adanya kerajaan di Muara Kaman (Martadipura) yang ditaklukan oleh Kutai Kartanegara pada 1635 M. Namun, Kitab Salasila Kutai adalah sumber yang lemah dan baru ditulis pada 1846 M, empat belas abad setelah Prasasti Muara Kaman dibuat.

Teori lain menduga bahwa kerajaan Martadipura adalah kerajaan lain yang dulunya pernah menaklukan Kutai Kuno. Hal ini terkait penemuan lesong batu yang diduga Yupa yang belum ditulis. Akibat penaklukan itu, para Brahmana diduga berhenti menulis prasasti dan meninggalkan lesong batu begitu saja. Namun, tidak diketahui secara pasti kebenaran teori-teori itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline