Lihat ke Halaman Asli

Cerpen: Aku Belum Tahu Namamu, Tapi Aku Tahu Siapa Dirimu

Diperbarui: 1 Desember 2015   00:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Sudah menjadi kebiasaanku tidak langsung pulang kerumah sehabis jam kerja. Dengan sepeda fixie aku lebih suka berkeliling mengunjungi tempat-tempat yang nyaman untuk bersantai melepas penat setelah seharian bekerja. Salah satu tempat favoritku adalah Museum Asia-Afrika, tempat yang nyaman dan asik, menurutku. Aku sering duduk disana hingga gelap sambil menulis catatan-catatan, atau sekedar cuci mata.

Seperti biasa, aku selalu mengambil posisi duduk dibangku dekat jalan dibawah sorotan remang lampu jalan. Hawa petang itu cukup sejuk sehabis disirami oleh hujan, jalanan masih sedikit basah, suasana ideal untuk menulis catatan-catatan pendek. Di sela menulis catatanku, aku melempar pandang ujung untuk sekedar menyegarkan mata, tanpa sengaja dari kejauhan pandanganku menangkap sebuah bentuk tak biasa tapi menarik. Sesosok manusia dengan dada menonjol diatas sepeda fixie berwarna merah muda, dengan pakaian berwarna abu-abu, mengayuh perlahan menuju kearah dimana aku berada. Sambil terus mengayuh perlahan, Ia hanya melihat sepedaku yang terpakir tepat disebelahku. Lalu berlalu begitu saja tanpa sempat menggeserkan pandangannya kearahku.

Semua berlalu begitu cepat, tapi ada yang sempat tertinggal didalam benak. Sosok itu, meski kami tak sempat beradu pandang tapi matanya terlihat berbeda, tajam namun lembut. Meski kepalanya tertutup helm, tapi rambut hitamnya terurai hingga kepunggung. Dalam keremangan cahaya lampu jalan, kulitnya masih terlihat cerah. Ah rasanya ia masih berada dalam pandangan.

Esoknya setelah rutinitas pekerjaan yang hampir tak berubah, tepat pukul 5 lewat 30 aku kembali lagi ke Museum ini. Berharap agar gadis itu datang lagi. Setelah menyandarkan sepeda aku memilih posisi duduk yang tepat agar bisa langsung tertangkap oleh pandangan matanya. Ku rapikan rambut pendek yang tak pernah disisir ini dengan lima jari ditambah sedikit air liur, juga membetulkan pakaian yang compang-camping.

Sudah lewat 30 menit tapi Ia belum juga muncul, langit semakin gelap, lampu-lampu jalan berwarana kuning mulai berpijar dengan remangnya menambah kesan roman-roman pada penantianku. Satu jam berlalu dan masih belum ada terlihat tanda-tanda Ia akan muncul. Setelah hampir dua jam, hujan mulai turun. Orang-orang mulai sibuk berebut tempat berteduh, Aku juga.

Setelah hampir tiga jam, hujan mulai reda dan masih belum ada tanda-tanda gadis itu muncul. Akhirnya kuputuskan untuk pulang. Dengan perasaan putus asa aku meraih sepeda, sekali lagi aku melihat ke ujung jalan itu untuk memastikan sekali lagi. Tapi semesta mendukungku, Sosok yang  kukenal itu muncul dari keremangan cahaya lampu-lampu jalan dengan sepeda fixie pink yang sama. Aku gugup sekaligus senang. Sambil berdiri memegangi sepedaku, aku membeku menyaksikan wanita itu mengayuh sepedanya semakin dekat kearahku.

Dengan balutan kaos warna biru muda, celana  pendek diatas lutut, dan kulitnya yang masih terlihat cerah. Ia terlihat begitu indah dan cantik luar biasa. Kali ini ia melihatku, aku membalas pandangannya dengan wajah beku, ingin tersenyum tapi tak berani. Kami saling menatap sambil ia terus mengayuh sepedanya.

Tiba-tiba, BRUAAKKKKK….

Ia tersungkur dengan sepedanya dan seorang lelaki jatuh terduduk setelah di tubruk dari belakang oleh gadis itu dengan sepedanya.

Tanpa dikomando, kulepas sepedaku begitu saja dan dalam sekejap aku sudah didekat gadis itu tapi tak tahu harus berbuat apa, menyentuhnya saja aku masih tak berani.

“Gimana sih neng, naik sepeda matanya dipake dong” Marah si Bapak

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline