Lihat ke Halaman Asli

Hidayatullah

Hidayatullahreform

Memaksa Ubah Konstitusi adalah Kejahatan Politik, Menyerang Kepentingan Hukum Negara

Diperbarui: 10 April 2022   14:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh: Hidayatullah*

Pendahuluan

Setelah memasuki era reformasi bangsa 1998 ditandai dengan mundurnya diktator otoritarian Soeharto (Presiden RI kedua), bangsa kita masuk pada babak era demokratisasi. Suatu era dimana kebebasan menyampaikan pendapat lebih terbuka karena kebebasan berekspresi merupakan faktor penting dalam kehidupan demokrasi. Dibukanya ruang-ruang sipil dan politik yang bebas untuk masyarakat.

Namun tentu saja kebebasan itu tetap dalam kontrol hukum sebagaimana pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 bahwa, "Negara Indonesia adalah Negara Hukum". Jadi makna kebebasan berbicara atau berekspresi tidak dilakukan sekehendak hati tetapi dalam bingkai demokrasi yang konstitusional. Demokrasi yang taat terhadap hukum dimana yang memerintah bukanlah manusia tetapi hukum sebagai panglima.

Tetapi praktiknya, kebebasan berbicara (berekspresi) di bangsa kita termaksud salah satu negara yang terlampau terbuka dan lebih pemurah dari negara-negara yang berpaham yang sama dalam penerapan sistem demokrasi konstitusional.

Indonesia terlalu memberi toleransi kebebasan orang berekspresi atau berbicara sesuka hati. Seolah-olah kebebasan itu tanpa kontrol hukum, tanpa kontrol konstitusi dan tanpa kehendak rakyat yang paling fundamental.

Pokoknya seperti semaunya saja. Padahal negara-negara diluar Indonesia mengatur kebebasannya dengan batasan menjaga hak-hak orang lain dan menjaga muruah dan keamanan negaranya untuk tetap utuh dan bersatu.

Menengok diluar sana hukumnya paling kejam bagi siapa saja membicarakan gagasan, ide maupun wacana sensitif seperti mengorek-ngorek konstitusi. Taruhannya adalah tuduhan pengkhianatan, kejahatan terhadap keamanan negara, dan tuduhan kejahatan makar melawan pemerintahan yang sah.

Akibatnya penjara dengan hukuman badan, dan yang paling berat dengan metode pelaksanaan hukuman mati seperti hukum pancung, hukum gantung, suntik mati dan tembak mati.

Salah satu contoh paling terbaru pada tanggal 17/12/2019, Pengadilan Khusus Islamabad Pakistan menjatuhkan hukuman mati kepada mantan Presiden Pakistan Pervez Musharraf dalam kasus dengan delik makar dan pengkhianatan kepada negara, karena membekukan konstitusi dan memberlakukan keadaan darurat pada tahun 2007.

Maka dari itu setiap negara bukan saja yang otoriter tetapi yang berpaham demokratis-pun tetap membentuk (menciptakan) hukum untuk menjaga batasan-batasan antara warga negara dengan negara, antara negara dengan negara lainnya, pejabat pemerintah dan segenap instrumen lembaga-lembaganya, dll.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline