Lihat ke Halaman Asli

Hidayatullah

Hidayatullahreform

Jerat Hukum bagi Atasan yang Membiarkan Bawahannya Melakukan Korupsi

Diperbarui: 9 Februari 2021   00:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di negeri kita ini apabila terkait tindak pidana korupsi yang dilakukan pejabat penyelenggara negara di semua tingkatan baik pusat maupun daerah sudah dianggap hal lumrah atau biasa saja. 

Mungkin saking seringnya dan saking banyaknya. Kenapa menjerat para pejabat penyelenggara negara ? karena memang otoritas kebijakan dan kendali pengelolaan anggaran negara pada manajemen dan tata kelola pejabat tersebut.

Tetapi bagaimana kalau yang lakukan tindak pidana korupsi itu pada level dibawah pejabat ? Sementara pejabat di atasnya tidak tersentuh ? Akhir-akhir ini banyak yang menimpa Aparat Sipil Negara (ASN) pada level teknis. Contoh kasus yang baru saja terjadi di awal Januari 2021, Kejati Sultra menetapkan tersangka dugaan suap alat polymerase chain reaction (PCR) Covid-19 dalam operasi OTT pada Dinas Kesehatan Sultra. Tersangkanya adalah Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK), dengan bukti dugaan uang suap senilai Rp. 431 juta.

Sebelumnya Kejati Sultra telah menetapkan dua tersangka lainnya adalah pihak penyedia jasa alat PCR tersebut. Menurut pengakuan tersangka bahwa uang tersebut akan diserahkan kepada pejabat-pejabat tertentu. Kasus ini begitu menyita perhatian publik Sultra karena dilakukan oleh seorang dokter ASN dalam program anggaran Covod-19. Tetapi publik tidak yakin kalau hanya pejabat di level teknis yang lakukan tanpa ada arahan atau se pengetahuan pimpinan di atasnya.  Banyak orang menilai pegawai pada level teknis ini adalah selain sebagai pelaku sekaligus bisa bagian korban dari atasan atau pimpinannya. Karena inisiatif-inisiatif perlakuan penyimpangan korupsi biasanya tidak berdiri tunggal, tetapi ada motivasi lain dari pihak lain terutama bisa saja arahan dari atasan pelaku.

Terhadap masalah tersebut, penulis berpendapat bahwa setiap atasan/pimpinan dari setiap unit kerja pada penyelenggaraan negara apabila mengetahui dan membiarkan korupsi terjadi tapi tidak melaporkan nya ke kepolisian atau ke kejaksaan dapat dikenakan pasal penyertaan tindak pidana yaitu Pasal 56 KUHP. Jadi, selain pelaku korupsi, setiap atasan, tak hanya atasan langsung si pelaku, yang terbukti membiarkan terjadinya korupsi, juga dapat dikenakan pidana.

Ketika seorang penyelenggara negara membiarkan terjadinya korupsi di instansi yang dipimpinnya, maka dia telah mengesampingkan penyelenggaraan negara yang bersih yaitu penyelenggara negara yang menaati asas-asas umum penyelenggaraan negara dan bebas dari praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), serta perbuatan tercela lainnya (Pasal 1 ayat [2] UU 28/1999.

Jadi setiap penyelenggara negara harus menyukseskan secara sungguh-sungguh program pemerintah dalam hal pemberantasan korupsi. Karena korupsi adalah kejahatan yang masuk kategori kejahatan luar biasa (extra ordinary crimec). Kejahatan korupsi disetarakan dengan kejahatan terorisme dan narkoba. Sehingga penanganannya dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa. Maka setiap pimpinan penyelenggara negara adalah bagian dari kerja-kerja luar biasa itu untuk menekan, mencegah dan memberantas perilaku koruptif di lembaga yang dipimpinnya.

Oleh sebab itu, penyelenggara negara dapat dianggap telah menyalahgunakan kekuasaannya apabila dengan sengaja membiarkan dilakukannya korupsi pada instansi yang dipimpinnya dan dapat dijerat dengan Pasal 3 jo Pasal 23 UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan TIpikor sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20/2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tipikor ("UU Tipikor").

Pasal 23 UU Tipikor tersebut merujuk pula pada Pasal 421 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ("KUHP") yang berbunyi:

"Seorang pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan memaksa seseorang untuk melakukan, tidak melakukan atau *membiarkan sesuatu*, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun delapan bulan."

Namun, pidana terhadap perbuatan tersebut telah diperbarui dengan UU Tipikor menjadi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline