Bagiku, bertumbuh menjadi orang dewasa, terkadang memperjelas satu hal: ada kalanya harus berteman dengan sepi. Meski ada banyak orang di sekitarku, rasa sepi tak jarang menghampiri. Entah karena pada saat-saat tertentu aku tidak cocok dengan mereka ataukah karena aku merasa tidak terhubung dengan orang-orang yang kuinginkan.
Contoh sederhananya yaitu ketika aku mengikuti suatu tes atau ujian. Aku yang mungkin terlalu percaya diri dan kebetulan merasa lapar, berusaha cepat-cepat menyelesaikan tes atau ujian itu agar bisa segera ke kantin untuk makan. Namun, karena aku telah lebih dulu selesai sementara teman-temanku banyak yang belum, aku merasa kesepian. Alhasil, aku mesti ke kantin sendirian. Dan itu membosankan.
Pada usia dewasa, wujud dari rasa sepi itu makin beragam dan terkadang menyebabkan kegalauan yang makin menjadi-jadi, misalnya ketika banyak temanku lebih dulu mendapatkan pekerjaan atau banyak yang sudah menikah dan berkeluarga. Sering sekali tidak ada kecocokan waktu untuk sekadar bertemu. Saat aku punya banyak waktu luang, mereka sedang sibuk bekerja. Saat aku harus mengurus sesuatu untuk masa depanku, mereka sedang merencanakan liburan. Amboi!
Jika sudah begitu, aku selalu teringat dengan tulisan yang pernah kutulis dalam catatan harianku. Aku tidak tahu tulisan itu termasuk cerpen atau apa. Aku mengarangnya begitu saja. Berikut salinannya:
Haluan dan Buritan
"Aku kira ketika sudah sampai di sini, aku akan bahagia," ucapku sedih.
"Ternyata?" Seseorang menimpali ucapanku.
"Aku merasa hampa. Rasanya sepi sekali. Berada di haluan tidak lebih baik daripada berada di buritan."
"Mengapa?"
"Di sanalah tempat aku dan teman-temanku berkumpul."
"Lalu, kau ingin kembali?"