Saat ada kabar Fauz Noor Zaman mau menulis Novel Biografi KH. Choer Affandi kemudian dibuka order di online, tidak saya tunda lagi untuk segera pesan karena sudah pasti novel ini akan indah dan menjadi bacaan penting. Selama proses penulisan novel ini, saya sempat diskusi dengan Fauz Noor tentang perjuangan KH. Choer Affandi.
Buku ini berjudul Pembuka Hidayah Novel Biografi Uwa Ajengan yang terbit April 2021, kebetulan saya baru membacanya ketika baru pulang dari Bogor setelah napak tilas perjuangan KH. Sholeh Iskandar dan KH. Abdullah bin Nuh.
Pagi itu saya merasa bersalah karena novel setebal 212 halaman ini saya lahap habis hanya dalam waktu kira-kira 2.5 jam, saya tidak ingin berlama-lama lagi untuk larut dalam jalan cinta KH. Choer Affandi. Bergetar hati dan bulir-bulir bening pun hampir menetes di pipi ketika saya membaca halaman pertama novel ini, sosok pemuda belasan tahun itu meskipun dalam keadaan terbaring dan tubuhnya lemas namun tidak menjadi alasan untuk terus mencari ilmu.
Selesai membaca buku ini, saya coba komunikasi kembali dengan Fauz Noor untuk menanyakan beberapa data yang ada di buku. Dengan husnuzhan-nya, ia menantang saya untuk membuat resensinya. Tentu sebuah tantangan yang begitu berat, apalah diri saya yang seorang penulis penulisan, sedangkan Fauz Noor penulis best seller.
Buku ini merupakan buku ketiga Fauz Noor Zaman dalam mengangkat biografi ulama dengan pendekatan fiksi dalam bentuk novel. Sebelumnya ia telah menulis buku fiksi biografi ulama Syahadah Musthafa (Biografi Asy Syahid KH. Zainal Musthafa) dan Cahaya Muhsin (Biografi KH. A. Wahab Muhsin).
Bedanya, buku ketiganya ini dibagi menjadi 3 jilid, dan ini jilid pertamanya. Buku ini berlatar belakang biografi KH. Choer Affandi atau yang lebih dikenal dengan sebutan Uwa Ajengan, Ulama Legendaris dari Pondok Pesantren Miftahul Huda Manonjaya. Dari sisi bahasa, saya sangat terpesona dengan penulis buku ini, Fauz Noor mampu mengolaborasikan kekayaan kosakata dan cara beliau menuliskannya tidak pernah membosankan.
Sebelum menutur pandangan subjektif buku ini, saya merasa terlebih dahulu perlu mengucapkan apresiasi kepada penulis yang telah melakukan riset melalui perjalanan menemui para keturunan KH. Choer Affandi untuk meminta izin dan mengambil data, menjejak kaki di sekitar tanah priangan bahkan bisa saja lebih dari itu untuk menelusuri perjuangan KH. Choer Affandi demi lahirnya karya ini.
Seperti 2 buku Fauz Noor sebelumnya yakni Syahadah Musthafa dan Cahaya Muhsin, ia adalah penulis yang gemar meletakkan rima pada tiap paragraf deskripsinya, gaya bahasanya khas, diksi-diksinya mengalir, bukan mendikte. Penggambaran tokoh, waktu, tempat dan budaya pun dibuat sedetail mungkin sehingga tidak perlu repot membayangkannya. Pembaca sudah dibawa hidup ke dalam cerita.
Kisah dalam buku ini benar-benar mampu menghipnotis setiap para pembaca sehingga tidak menyadari kalau sudah tiba di akhir halaman. Saya sangat salut dengan penulis yang mampu menggambarkan dan mengolaborasikan data-data sejarah dengan gaya fiksi dan tentunya itu tidak mudah. Pastilah penulis sebelumnya telah melakukan banyak riset untuk menulis buku ini. Para pembaca yang sebelumnya belum menelusuri literasi biografi KH. Choer Affandi akan sulit membedakan mana yang sejarah dan mana yang fiksi, karena cerita ini dikemas dengan apik.
Dari unsur tata bahasa dan sastra, kita juga dapat banyak pelajaran dari buku ini, penggunaan bahasa Sunda dalam beberapa percakapan semakin menambah menariknya buku ini, sehingga semakin menguatkan identitas dan ciri khas ulama Priangan yang diangkat dalam buku ini, meskipun pembaca yang belum paham bahasa Sunda harus melihat foot note untuk memahaminya. Di sisi lain, nuansa lokalitas tanah priangan begitu kuat. Saya bisa merasakan suasana pegunungan priangan, pesantren, dialog sunda serta bumbu-bumbu ledekan khas orang sunda.
Pada bagian prolog, saya salut pada penulis, beliau tidak malu-malu langsung menyampaikan narasi salah satu peristiwa sejarah perjalanan bangsa Indonesia yakni peristiwa Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang selama ini oleh Negara Kesaturan Republik Indenesia dipandang sebagai "pemberontak" bahkan penulis tidak malu-malu untuk menyampaikan salah satu tujuan penulisan novel ini dengan maksud sedikit mengikis makna "pemberontak" yang disematkan kepada para Ajengan Tasikmalaya dengan proporsional tentunya, karena memang dalam menulis biografi KH. Choer Affandi pasti akan melalui peristiwa DI/TII. Sementara kita tahu, di awal kemunculan DI/TII, hampir tak ada ajengan di Tasikmalaya yang menjadi DI/TII, hanya saja ada yang aktif terlibat atau sekedar hanya menjadi simpatisan diam.