Perkembangan suatu peradabadan tak lepas dari kegiatan baca, tulis, dan hitung. Transfer informasi yang demikian cepat seperti sekarang diawali dengan coretan-coretan di dinding goa. kegiatan mengabadikan suatu pengalaman, peristiwa, maupun penelitian sudah dilakukan jauh sebelum mesin cetak ditemukan.
Namun, apa yang terjadi jika tulisan berupa pengalaman, peristiwa, maupun penelitian?
Pengalaman mengajar di sebuah sekolah dasar saat menjalani Kuliah Kerja Nyata di Kabupaten Jeneponto membuat saya tersadar adanya beberapa anak terkendala dalam membaca. Seorang anak kelas 4 SD tak mampu membaca dengan lancar bahkan mengalami disleksia yakni ketidakmampuan mengenali huruf. Tak hanya satu orang, beberapa temannya yang seumuran ada yang kurang mampu membaca dengan baik padahal anak seusianya seharusnya sudah mampu mengarang puisi maupun cerpen.
Anak yang kurang mampu membaca seperti ini harusnya tidak dinaikkan ke kelas yang lebih tinggi. Memaksa menaikkan ke kelas yang lebih tinggi justru akan menyulitkan siswa seperti ini. Siswa ini akan kesulitan dalam memahami materi yang diajarkan oleh gurunya dan membuatnya semakin tertinggal.
Saat saya bertanya kepada salah seorang guru kenapa siswa yang kurang mampu membaca bisa sampai naik kelas. Sang guru membela diri dengan mengatakan bahwasanya itu sudah menjadi aturan. Semua siswa harus dinaikkan kelas karena sudah menjadi tuntutan katanya.
letak masalahnya justru berada pada aturan yang mereka buat. Saat mereka mendapatkan apresiasi ketika mampu membuat semua siswanya naik kelas ada siswa yang mengalami bencana. Apresiasi yang didapat hanyalah kebahagiaan semu yang akan menjadi beban di kemudian hari. Guru yang mengajar siswa yang dinaikkan dengan terpaksa karena aturan akan sangat kesulitan dalam mengajar. Guru ini akan kesulitan dalam membuat siswanya menangkap pelajaran.
Ada tiga korban dari model pengelolaan sekolah seperti ini. Pertama, siswa yang kompetensinya kurang. Mereka akan kesulitan dalam memahami materi yang diajarkan oleh gurunya. Selain itu mereka juga harus bersaing dengan siswa yang kompetensinya sudah matang. Mereka akan mengalami suatu kecemburuan saat melihat siswa yang berkompetensi mendapat apresiasi dan penguatan dari gurunya. Akhirnya mereka mencari jalan lain untuk sekedar mencari perhatian dengan membuat gangguan-gangguan kecil dalam proses pembelajaran.
Kedua, Siswa yang kompetensinya sudah matang. Siswa ini sudah mampu menangkap pelajaran dengan cepat dan mendapatkan apresiasi serta penguatan dari guru. akan tetapi mereka akan terganggu dengan kehadiran siswa yang kurang berkompetensi. Pembelajaran akan berjalan lambat dan materi yang didapat akan lebih sedikit dari yang seharusnya.
Ketiga, Guru yang mengajar siswa yang ditempati siswa yang kurang kompeten dan yang sudah kompeten. Mereka akan kesulitan dalam penyampaian materi. Dilematis saat mau meninggalkan siswa yang kurang kompeten atau mengejar materi yang sudah disusun.
Akhirnya, model seperti ini akan menjadi semacam Zero Sum Game. Semua pihak adalah pihak yang dirugikan. Guru akan kesulitan dalam mengajar, siswa kurang kompeten akan sulit mengejar, dan siswa kompeten akan terhambat. Hasil dari model pengelolaan sekolah seperti ini akan terlihat pada nilai rata-rata Ujian Nasional.
Nilai ujian yang rendah adalah akibat dari model seperti ini. Biasanya pihak sekolah mengakali dengan berlaku curang saat pelaksanaan Ujian Nasional. Dimulai dengan mencari kunci jawaban dan menyerahkan kepada siswa hingga memaksa siswa yang kompeten untuk memberi contekan kepada siswa yang kurang kompeten agar rata-rata nilai UN sekolah tinggi.