Lihat ke Halaman Asli

Hidayat Harsudi

The Accountant

Coblos Lebih Baik daripada Contreng pada Pemilu

Diperbarui: 17 Desember 2016   21:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok.pribadi

Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat adalah definisi demokrasi menurut Abraham Lincoln. Demokrasi seperti inilah yang ingin kami wujudkan dalam lingkungan kampus. Jika tahun-tahun sebelumnya pemilihan ketua himpunan mahasiswa jurusan hanya dipilih oleh mahasiswa yang hadir saat musyarah besar, maka tahun ini kami mengadakan pemillihan umum yang melibatkan semua mahasiswa yang dilakukan di kampus.

Pemilihan umum digagas dengan membentuk sebuah Komisi Pemilihan Umum untuk mengatur segala persiapan sebelum Pemilu dilakukan. Mulai dari sosialisasi, pembagian kartu pemilih, percetakan kertas suara, hingga kampanye anti golput tim KPU lakukan. Saat pemilihan umum telah dilaksanakan, tim KPU memulai menghitung suara. Dari 422 pemilih yang menggunakan hak suaranya, ada 15 suara tidak sah. 15 suara tidak sah adalah jumlah yang cukup banyak mengingat hanya ada 422 pemilih dan juga mahasiswa ini bukan merupakan pemilih pemula.

Setelah diselidiki, faktor yang menyebabkan banyaknnya suara tidak sah adalah pemilihan dengan sitem “contreng”. Hal ini terlihat pula pada saat pemilihan presiden mulai dari tahun 2004 saat Susilo Bambang Yudhoyono bersama Jusuf Kalla memenangkan kursi Presiden dan Wakil Presiden sampai pada tahun 2014 ketika Jokowi mampu mengalahkan Prabowo di pertarungan memperebutkan RI satu itu.

Pemilihan presiden yang dipilih langsung oleh rakyat diselenggarakan pertama kali pada tahun 2004. Rakyat yang ikut berpartisipasi dalam pilpres ini mencapai 119.656.868 jiwa.  Dari sekian ratus  juta pemilih terdapat 2,16% suara yang tidak sah pada putaran pertama dan menurun lagi 2,06% di putaran kedua. Pilpres tahun 2004 yang memenangkan SBY & JK dilakukan melalui dua putaran dengan cara “menyoblos”.

Pada Pilpres 2009 terdapat perubahan tata cara pemilihan dari coblos menjadi contreng. Alhasil dari 127.999.965 jumlah pemilih yang menggunakan hak suaranya, sebanyak 5,07% suara tidak sah. Dari yang sebelumnya hanya 2,3 juta suara tidak sah pada pilpres 2004 berubah menjadi 6,5 juta di pilpres 2009. Selisih yang cukup besar yaitu 4,2 juta kemungkinan terjadi akibat perubahan tata cara pemilihan. Hal tersebut terlihat pada pilpres 2014.

Pada pilpres 2014 terjadi kembali perubahan tata cara pemilihan dari contreng kembali ke coblos. jumlah pemilih yang menggunakan hak suaranya pada saat itu sebanyak 134.953.967 jiwa. Dari jumlah pemilih yang menggunakan hak suaranya, hanya terdapat 1,02% atau 1,4 juta suara tidak sah. Penurunan jumlah suara tidak sah ini diakibatkan oleh berubahnya tata cara pemilihan.

Pemilihan dengan cara menyoblos memiliki sejumlah kelebihan. Cara yang mudah yang hanya menusukkan paku hingga tembus pada kertas suara lebih mudah dibanding harus menyontreng dengan spidol. Biaya untuk pengadaan alat pemilihan seperti paku juga lebih murah ketimbang membeli spidol. Belum lagi pemilih iseng yang mengambil spidol dari bilik suara yang akan membuat petugas TPS membeli spidol pengganti.

Kreatifitas orang indonesia yang biasanya dituangkan dengan mencoret tembok ataupun menggambar uang rupiah kerap kali dilakukan pula pada saat penyontrengan. Adanya penambahan aksesoris pada foto pasangan seperti kacamata biasanya membuat suara tidak sah. Suara yang harusnya bisa diperhitungkan dalam perhitungan suara hilang begitu saja lantaran kreativitas tanpa batas ini. Belum lagi tulisan yang menampilkan keidolaan pada calon tertentu dan kebencian pada calon lain yang kerap membuat baku ejek antar pendukung saat perhitungan. 

Pada pemilihan Ketua Himpunan yang kami selenggarakan 14 Desember lalu, mayoritas suara tidak  sah terjadi akibat kreativitas tanpa batas. Pemasangan kacamata hingga penumbuhan kumis pada calon tertentu membuat orang-orang tertawa pada saat perhitungan. Kalimat seperti “no 1 andalanku, No 2 Wattunami” juga terdapat pada suara tidak sah ini. hanya satu hal yang patut disyukuri adalah tidak adanya kalimat yang menunjukkan kebencian ataupun permusuhan. Kebayang kalau kalimat tersebut terdapat pada kertas suara, pasti para pendukung akan ribut.

Hal seperti pemasangan atribut tambahan dan tulisan-tulisan tidak bisa dilakukan saat menggunakan cara coblos. Tajamnya paku tak mampu mengukir kertas yang tipis sehingga kejadian suara tidak sah bisa diminimalisir. Tata cara pemilihan yang mudah serta sosialisasi yang masif akan membuat jumlah suara terbuang akan berkurang sehingga partisipasi politik masyarakat akan naik. Dengan bertambahnya partisipasi politik diharapkan pula partisipasi lain dari masyarakatmeningkat pula sehingga mampu membawa indonesia kembali menjadi macan asia bukannya menjadi ayam asia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline