Mendengar penjelasan singkat tadi, saya malah tambah berfikir jauh antara percaya dan tidak terhadap musibah yang menimpa pak Bedjo. Seolah menggunakan mesin waktu, saya me-recall ingatan masa lalu saya tentang keluarga pak Bedjo ini.
Sepuluh tahun yang lalu, pak Bedjo kehilangan anak laki-laki satu-satunya, Fadli. Waktu itu dia sedang menempuh kuliah di salah satu universitas ternama di Jakarta. Tanpa ada kabar sebelumnya, secara mendadak Fadli dikabarkan sakit. Sambil menunggu kedatangan pak Bedjo, Fadli dilarikan ke rumah sakit oleh teman-teman indekosnya.
Dan selang beberapa hari kemudian, dinyatakan meninggal dunia. Penyakit lambung yang dideritanya tidak pernah dilaporkan bapaknya dan mungkin karena sudah biasa kambuh dan sembuh, maka Fadli tidak pernah memeriksakan ke dokter spesialis.
Empat tahun berselang dari kematian anak laki-lakinya, pak Bedjo harus kehilangan istri tercintanya. Tidak ada riwayat sakit yang serius yang pernah diidapnya. Baru dua hari di rumah sakit, beliau pun meyusul Fadli.
Dua kejadian ini rupanya belum bisa dipahami sebagai sebuah teguran atas pola kehidupan pak Bedjo. Dia masih lebih suka kumpul-kumpul dengan komunitasnya yang suka karoke di kafe-kafe tak jauh dari rumahnya. Sementara dia sering menolak dan selalu memberi alasan akan kesibukannya kalau diingatkan dan diajak untuk mengikuti majlis taklim di kampungnya.
Bahkan dia pernah mengeluhkan kepada pembina jamiyahan dimana dia ikut tercatat sebagai anggota. Waktu itu ada halal bi halal jamiyahan di mana beliau adalah pembinanya dan tanpa tedeng aling-aling, dia mengeluhkan kepada Pembina sekaligus nara sumber pada acara tersebut.
“Tad, mohon pemjelasan mengapa saya selalu berat ya untuk hadir mengaji, duduk bersama dalam majlis. Saya tidak betah dan tidak kuat lama-lama kalau di acara seperti ini.” katanya berterus terang dan tanpa malu-malu.
Pak Ustad Zaini pun tersenyum mendengar kepolosan pak Bedjo. Dengan jawaban normatif, pak Ustad Zaini menjelaskan bahwa jalan menuju syurga itu sering bertaburan kerikil tajam, jadi banyak orang minggir kalau tidak kuat imannya. Sementara jalan menuju neraka, seringkali diwarnai dengan wangi bunga dan gemerlap lampu yang menggoda.
Jadi tinggal panjenengan mau pilih yang mana? Hidup kan pilihan nggih pak?” tanyanya mengakhiri jawaban untuk pak Bedjo. Sambil manggut-manggut pak Bedjo mencoba untuk memahami makna dibalik ungkapan yang sederhana namun dalam maknanya itu.
Waktu pun berjalan begitu cepat, hingga tanpa terasa kehidupan pak Bedjo terbiasa dengan tanpa isteri tercintanya dan hanya dengan anak perempuan yang bungsu. Kakaknya setelah menikah mengikuti suaminya di kabupaten lain.
Pak Bedjo seperti biasa masih melanjutkan kehidupannya yang dulu. Tanpa di dengar oleh para tetangga lainnya, terdengar kabar bahwa anak perempuan ke duanya bercerai dengan suaminya. Alasan yang sampai kepada para tetangga katanya masalah KDRT ( Kekerasan Dalam Rumah Tangga).
Teguran demi teguran hadir bertubi-tubi. Namun sayang, gengnya yang selalu setia menemani pak Bedjo, tidak ada yang menasihati dan memberi masukan. Andai saja dia mau instrospeksi, muhasabah (mengadakan penilaian diri) tentu tanda-tanda ini akan mudah terbaca. Sampai akhirnya kejadian yang tak terduga sama sekali hadir dalam kehidupannya.
Dan ini bisa diibaratkan tendangan paling telak buat pak Bedjo untuk menyadari kekeliruannya. Anak bungsunya yang perempuan dinyatakan hamil di luar nikah (baca "Maaf Tidak ada Walimahan"). Namun anehnya, pada saat pak Bedjo mengundang para tetangga untuk tasyakuran, beliau sempat menanyakan kepada para undangan yang ada di sampingnya.
“Saya ini kurang apa ya kepada anak saya. Setiap hari selalu saya awasi, saya tanyakan acaranya apa, dan dimana serta dengan siapa berbuat apa (kaya lagu aja) he he ...?” tanyanya tanpa merasa bersalah. Saya yang hadir dalam acara itu hanya bisa ber-istghfar dalam hati. Sambil sesekali bertanya apa ini yang namanya ujian atau musibah? Wallahu a’lam bish showab.
***
Anak merupakan amanah Allah Swt yang diberikan kepada orang tua. Hakikatnya setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, suci dan bersih dari sifat dan karakter buruk. Namun peran lingkungannya akan memberikan warna kepada anak-anak. Lingkungan terdekat adalah orang tua sebagai pendidik atau madrasah pertama bagi anak-anaknya, khususnya ibu.
Maka pendidikan anak perempuan sangat mendapat perhatian dalam Islam. Suatu hari Nabi Muhammad Saw bersabda “ Barang siapa mempunyai 3 anak perempuan dan mampu mendidiknya, melindunginya, dan memelihara mereka dengan baik, maka orang tuanya masuk surga. Wahai Rasulullah, kalau dua bagaimana? Ya atau dua anak perempuan” (H.R Ibnu Abbas).
Ini menunjukkan bahwa betapa strategisnya mendidik anak perempuan, karena mereka akan menjadi penerus dan pencetak generasi berikutnya. Hal ini sangat sejalan dengan apa yang disampaikan Mohammad Hatta bahwa mendidik perempuan sama artinya dengan mendidik satu bangsa, karena dari perempuanlah generasi tersebut akan lahir.
Bahkan pada suatu kesempatan Nabi pernah bersabda bahwa wanita adalah tiang negara, bila wanita dalam suatu negara kuat, baik akhlaknya, maka kuatlah negara. Mengutip Imam Mawardi dalam kitab Adabun Dunya wad Din yang mengatakan, untuk menghancurkan suatu bangsa dan negara adalah dengan menghancurkan akhlak generasi mudanya.
Maka perhatian kepada pendidikan anak perempuan tidak bisa dipandang remeh atau sekedar formalitas belaka. Apalagi bila masih ada yang berpendapat bahwa wanita tiak perlu mengenyam pendidikan yang tinggi dengan alasan wanita pada akhirnya akan kembali kepada fitrahnya, sumur, kasur dan dapur. Ini tentunya pendapat yang gegabah.
Untuk itu agar mendapatkan kualitas generasi yang lebih baik, maka sangat diperlukan langkah-langkah strategis dalam mendidik anak-anak perempuan, khususnya kaum muslimah agar mendapatkan generasi yang salihah, cerdas, kuat dan berintegritas tinggi. Berikut langkah-langkah yang bisa dijadikan pedoman dalam mendidik anak-anak perempuan kita:
***
Jendela inspirasi :
1. Proses pendidikan seorang anak, dimulai dari kandungan bahkan ada yang berpendapat mulia dari ke dua pasangan calon orang tua tersebut bertemu. Ini ada pada masa keduanya mengadakan PDKT (pendekatan). Selanjutnya bagaimana perilaku calon ayah ibu ini mengelola masa pendekatan ini juga akan memengaruhi kualitas anak yang dilahirkan.
2. Menjadi orang tua memang atidak ada sekolahnya. Maka CAlon orang tua dan bahkan setelah menjadi orang tua, tetap harus belajar bagaimana menjadi orang tua yang saleh. Kesalehan seseorang diukur manakala seseorang mampu melaksanakan amanahnya terkait sebagai hamba, yaitu melaksanakan hak-hak Allah Swt dan pada saat yang sama mampu melaksankan hak-haknya sesama manusia.
3. Hadirkan keteladan dari orang dalam. Saat ini sudah begitu banyak nasihat (mauidhoh hasanah) kita dengar, sementara kita jarang memberikan uswatun hasanah (contoh keteladanan).
4. Beragama harus dengan ilmu. Banyak keterampilan dan pengetahuan yang harus dimiliki seorang wanita dalam posisi yang multi peran. Sebagai pribadi muslimah, ibu bagi anak-anaknya dan isteri bagi suaminya. Ini membutuhkan ilmu yang memadai agar mampu menjalankan multi peran yang diembannya.
5. Miliki komunitas postif untuk menjaga iman dan mindset anak-anak kita dalam menjalani kehidupan. Hal ini penting mendapat perhatian karena masa muda adalah masa pencarian jati diri. Pencarian ini biasanya akan diperoleh melalui teman atau komunitas di mana mereka biasa berlabuh. Dan teman sebaya akan sangat mudah saling memengaruhi baik dalam cara berpikir atau berperilaku. Maka berhati-hatilah memilihkan komunitas untuk anak-anak kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H