Selamat datang September!
Berjumpa denganmu selalu mengingatkanku pada peristiwa 16 tahun yang lalu. Karenamu, seluruh kehidupanku menjadi berubah. Karenamu, aku selalu menemukan masa-masa tersulit dalam hidupku. Karenamu juga, aku terlatih agar lebih dewasa dan mandiri untuk terus menghadapi siklus tak menentu kehidupan ini.
Sebelumnya, kami merupakan 5 anggota keluarga yang sangat bahagia dalam sebuah kesederhanaan. Kami bukan berasal dari keluarga kaya. Ayah dulu hanyalah seorang guru honorer di sebuah sekolah dasar. Beliau bekerja dari pagi hingga menjelang sore. Sore harinya, beliau memiliki tugas untuk membagikan ilmu kepada santri-santrinya di mushollah kayu sebelah rumah kami.
Ummi, hanyalah seorang ibu rumah tangga. Beliau baru membantu mencukupi kebutuhan keluarga ketika saya mulai bersekolah. Beliau berjualan jajanan di koperasi sekolah tempat ayah bekerja. Saya dan kakak perempuan memiliki selisih usia 2 tahun. Sedangkan adik lakik-laki berjarak 3 tahun dari usia saya.
Selama ayah dan ummi ada, mereka berdua tidak pernah sedikitpun memanjakan anak-anaknya. Setiap hari mereka telah memiliki daftar tugas yang harus diselesaikan oleh putra putri mereka di rumah. Saya sendiri memiliki tugas khusus. Setiap pukul 6 pagi, saya harus memberi makan hewan ternak. Kebiasaan tersebut saya lakukan bahkan sebelum saya berstatus sebagai siswa. Orang tua saya memang suka memelihara ayam dan bebek di halaman belakang rumah. Siang hari, kami diwajibkan untuk tidur siang tanpa terkecuali.
Sore hari, saya mendapat tugas untuk menyirami bunga-bunga di halaman depan atau menyapu dan membersihkan rumah, tergantung apa yang dikerjakan oleh kakak. Setelah itu, saya harus pergi ke mushollah untuk turut belajar mengaji. Malam harinya, saya harus belajar (bahkan saya lakukan walaupun belum bersekolah) hingga pukul 9 malam tiba. Kegiatan tersebut setiap hari rutin saya lakukan. Memulai aktivitas subuh dan mengakhirinya pukul 9 malam.
Kenangan demi kenangan selalu saya ingat, terutama bagaimana peran ummi dalam mendewasakan saya. Ummi lah yang membuat saya mampu menulis, membaca dan berhitung walaupun saat itu saya belum sekolah. Karena hal tersebut, saya tidak pernah merasakan duduk di bangku TK. Hal yang paling berkesan selama hidup saya adalah ketika beliau memberikan tantangan kepada saya.
Ketika memasuki catur wulan (istilah semester saat itu) terakhir atau kenaikan kelas, saya mendapat tantangan dari ummi untuk tetap mempertahankan peringkat pertama di kelas. Tidak tanggung-tanggung, hadiah yang beliau tawarkan untuk saya jika berhasil adalah khitan. Khitan di usia 7 saat itu sangat populer di kampung tempat saya tinggal.
Setiap hari saya terus menambah porsi belajar saya. Saya terus terpacu dengan tantangan yang diberikan oleh ummi karena memang saya ingin segera dikhitan. jika saya gagal saat itu, ntah kapan khitan itu dilaksanakan. Ummi juga berpesan bahwa jika saya gagal, maka khitan untuk saya tidak akan pernah dilaksanakan. Kejam bukan?
Rasa bangga beliau terhadap keberhasilan saya saat itu ditunjukkan dengan senyum bahagianya ketika nama saya dipanggil oleh guru untuk maju ke depan kelas. Saya berhasil menjadi yang pertama dan berhasil naik dari kelas satu ke kelas dua. Beliau tidak henti-hentinya mencium dan menggendong saya hingga sampai di rumah. Saya masih ingat betapa beliau benar-benar bangga dengan saya.
Apa yang pernah beliau janjikan ternyata menjadi realita. Saya dikhitan tepat ketika liburan sekolah tiba. Tidak ada pesta mewah. Proses khitan hingga acara syukuran dilakukan secara sederhana.