Lihat ke Halaman Asli

Teknologi Pencedera

Diperbarui: 17 Juni 2015   19:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi ini cuaca semi-semi cerah. Mata surya masih ragu-ragu untuk menampakkan sinar sempurnanya. Ntah karena ia masih mengantuk atau mungkin karena gumpalan bercak putih telalu tebal menghalangi auranya. Aku masih yakin dengan ramalan kecilku. Tidak lama lagi ia akan tersenyum dengan sempurna setelah semalam suntuk langit meneteskan air mata. Aku masih sibuk mengantung pakaian yang sejak pagi buta telah terbilas bersih. Aku lihat jam digital di nokia 110, tertulis 06.15 am. Aku harus segera turun untuk memakai baju yang semalam sudah aku setrika rapi. “Sial, aku lupa mengembalikan ember teman!”. Aku kembali naik ke atas untuk mengambil ember besar yang aku pinjam dari kamar kos sebelah.

Aku mulai beranjak kedalam kamar untuk memakai hem abu-abu dan celana jeans biru yang sudah aku letakkan diatas lemari buku. Tidak lupa, aku oleskan sedikit parfum agar teman-teman dikelasku bisa betah berlama-lama dekat denganku. Hehe. 20 menit lagi aku harus berangkat. Tidak tenang rasanya sarapan pagi dikejar dengan berputarnya jarum kecil pada arloji. Mataku terus memperhatikannya sambil mengunyah sepiring nasi yang hanya ditemani dengan tempe kering.

“Berangkat nak?” (Sapa bu kos)

“Iya bu, ada jam kuliah pagi”.

“Lho, memangnya kampusmu kapan libur nak?”

“Sudah liburan bu, kemarin waktu saya pulang kampung.”

“Kok mendahului? Anak saya minggu ini terakhir UAS. Berarti tidak sama ya?”

“Oh iya bu. Disini kampus yang libur dahulu kampus saya, soalnya ujiannya juga pertama.”

“Oh begitu ya.”

“Iya bu, mari bu saya berangkat dulu.”

Obrolan kecil semacam itu sudah hampir terjadi tiap hari. Maklum sapaan bu kos kepada anak kos favorit. Hehe.

Ramalan kecilku tidak meleset pagi ini. Sinar mentereng sang surya mengantarkan kepergianku menuju kampus yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah kosku. Suasana kampus seperti biasa, ramai penuh dengan mahasiswa dari penjuru tanah air yang hendak mencari sesuap ilmu dan seteguk pengetahuan baru. Aku sudah sampai di tempat parkir di gedung tempatku berkuliah. Aku barlalu meninggalkan si hitam yang telah aku parkir rapi di barisan dekat pintu keluar.

Suasana kelasku masih belum terlalu ramai. Banyak dari mereka yang belum hadir di kelas. Mungkin ada yang absen hari ini, atau terlambat. Ya terlambat. Ibarat kelas itu bunga mawar, maka terlambat itu adalah duri-duri tajamnya. Duri-duri itu yang memaksa kita untuk sedikit berkorban demi mendapatkan sekuntum mawar merah seperti yang dilagukan oleh musik dangdut. Menghalangi memang, tapi itulah mawar. Inilah kehidupan, selalu ada yang menghalangi demi mencapai kemulusan yang diharapkan.

Dosen mata kuliah pagi ini telah masuk di kelas. Beliau diikuti oleh segerombolan duri-duri yang mengikuti dari belakang. Duduk satu-persatu hingga memenuhi kursi-kursi kosong disekitarku.

“Assalamualaikum” (Dosen membuka kuliah)

“Wa’alaikumsalam bapak”. Serempak seluruh mahasiswa dikelas menjawab salam tersebut. Terdengar begitu kompak seperti bapak-bapak yang sedang bekerja bakti berebut segelas kopi.

“Hari ini kita akan membahas kelanjutan dari materi yang telah saya terangkan kemarin.”

Dosen mulai menggores papan putih dengan spidol hitam yang telah ada di meja kelas sebelumnya. Beliau menjelaskan materi dengan runtut disertai gestur-gestur pasti yang membuat kami begitu nyaman menelan dan mereproduksi semua teori. Satu jam telah berlalu. Waktu yang disediakan untuk mata kuliah ini adalah 3x50 menit. Masih lama ternyata.

“hrrgghhh….hhrrrggg…”

Aku terkejut, tiba-tiba ada getaran yang aku rasakan dari kursi sebelah. Ternyata benar sekali, getaran telepon genggam milik temanku. Aku konsentrasiku mulai terganggu. Fokusku kini kepada dua objek. Dosen didepan, dan temanku yang sibuk memainkan jempol kanannya untuk membalas pesan masuk di handphonenya.

“tit tit tit tit”

“ting tung”

Dan tit tut tung ting yang lain deh. Konsentrasiku semakin rusak setelah aku dengar nada-nada dering pendek mengalun lumayan keras dari pemilik-pemilik handphone itu. Satu-persatupun mereka mulai mengeluarkan BB, samsul, eh Samsung, dan smart-smart yang lain. Suasana perkuliahan mulai tidak kondusif. Berkali-kali dosen memperingatkan kepada para mahasiswa untuk menonaktikan handphone miliknya. Tapi lagi-lagi nada dering hp-hp canggih itu kembali mengusik kekhidmatan kelas.

“grrrrrhhh…grrhhhhh”

“Haduh dibalik saku celanaku si 110 ini juga ikut-ikutan bergetar.”

Akhirnya aku perlahan-lahan mengeluarkan si kecil. Terlihat ada 5 pesan masuk sekaligus. Dari kakak, dan dari teman sekelasku sendiri. Sampai perkuliahan berakhir, nada-nada yang tidak dapat atau tidak sempat disenyapkan itu terus bersahutan mengalahkan kicau burung pagi. Dosenpun meninggalkan kelas dengan sedikit kecewa menurutku.

“Kita cukupkan pertemuan hari ini. Tolong dipelajari apa yang sudah kita bahas bersama, minggu depan saya tanya satu-persatu. Lain kali tolong hp dimatikan. Assalamualaikum”

Kini semua pergi mengosongkan kelas. Kami bertemu lagi 4 jam kemudian, karena senggang waktu jam kuliah pertama dengan kedua cukup jauh. Akupun memutuskan untuk pulang kembali menuju kos.

Dikamar kecil ini, kantuk mulai menyerangku. Waktu masih menunjukkan pukul 11.00. setelah makan, aku putuskan untuk menuruti ajakan bola mata yang hendak tenggelam dibalik kelopaknya. Aku menurutinya karena waktu dhuhur di kota ini relatif lebih lama dibandingkan dengan waktu di kota asalku.

“kring….kring…kring”

Aku terbangun dari dunia mimpi yang tidak sengaja tercipta dalam tidur singkatku. “Hah! Lagi-lagi suara handphone”. Sangat mengganggu.

Kantukku mulai terusir setelah melihat pesan yang masuk. “Diberitahukan kepada teman-teman, bahwa untuk kuliah siang ini kosong”. Tanpa memunafikkan diri, aku beranjak bangun dan bersorak gembira. Lagi-lagi kosong. Aku harus melanjutkan misi memanjakan mataku.

Tapi rencanaku gagal. Jam sudah menunjukkan waktu dhuhur. Sementara bola mataku tidak jenuh lagi. ia mendukungku untuk segera bangun. Ia menuntunku menuju kran didekat kamar mandi untuk membasuh wajah dan anggota tubuh yang harus dibasuh.

Aku mulai berkosentrasi mengambil 4 rakaatku siang ini.

Setelah selesai, sebelum memulai memuji kepada-Nya tiba-tiba handphoneku kembali bunyi. Pesan masuk berkali-kali memberitahukan hal yang sama, yaitu kuliah kosong. Konsentrasiku lagi-lagi terpecah.

Setelah kebutuhan itu selesai, aku mulai duduk di kasur spons kamarku. Aku mulai memikirkan peristiwa yang terjadi hari ini. Sepele, tapi itu mempengaruhi dan terjadi setiap hari tanpa kita sadari. Bagaimana mau sadar, kan udah jadi kebiasaan.

“Apakah karena teknologi semua jadi seperti ini ya?”

Pikiranku terus berputar menerka apa yang baru aku sadari hari ini. Dosenku pernah berkata kalau kehadiran teknologi itu muncul layaknya hukum alam pada umumnya. Seperti sebilah pisau, teknologi muncul juga membawa aura positif dan aura negatif. Pasti kalian sudah tahu tanpa aku harus menjelaskan secara rinci. Lagipula aku tidak punya referensi yang dapat dijadikan dasar kuaat untuk hal itu.

Teknologi. Manusia akan dibuat serba mudah dengan adanya teknologi, terutama teknologi komunikasi. Dulu kakek dan nenekku (mungkin kakek dan nenek kalaian juga) butuh banyak pengorbanan untuk sekedar mengungkapkan rasa rindu ketika manis cinta itu mulai menyapa. Kakek dan nenek masih menggunakan surat-menyurat yang tenggang waktu sampainya tidak tentu. Kalau sekarang? Tinggal tekan tombol send dan hitungan seperdetik akan terbaca kalimat message sent atau bahkan bentuk bacaan lain (misalnya missage failed karena kehabisan pulsa). Dulu kata dosenku, ketika masih kuliah beliau sulitnya minta ampun dalam mencari buku referensi dari dosen. Beliau masih kesulitan mengembangkan ide-ide yang ada dalam fikiran. Beliau juga harus rajin-rajin mengunjungi perpustakaan demi mendapatkan informasi yang beliau butuhkan terkait dengan materi perkuliahan. Mahasiswa dulu itu sulitnya luar biasa, sehingga mahasiwa dulu benar-benar mahasiswa. Kalau sekarang? Toko buku tersedia dimana-mana. Kalau kita hendak mencari informasi, tidak perlu susah-susah melangkahkan kaki ke perpustakaan (nggak ngajarin jelek lho). Bagi mereka yang terserang teknologi canggih, tinggal tekan tombol touchscreen yang ia punya, lalu googling deh. Bahkan masih banyak mahasiswa ketika dapat banyak tugas tinggal copas dari mbah google dan seperti kilat tugasnya langsung selesai. Keren nggak teknologi sekarang?

Kalau dibilang keren, ya sangat keren. Tapi apakah kita mau diperdaya oleh mereka? Ayo sedikit membuka mata kawan. Bayangkan, kita diciptakan oleh Tuhan dilengkapi dengan otak yang maha dahsyat, mampu mengungkapkan segala hal yang berkaitan dengan aspek kehidupan. Kalau otak kita masih mampu menyelesaikan masalah, kenapa harus ketergantungan dengan mbah google? Bagaimana seandainya ada anak monyet yang berteriak didepan kita dan bilang

“Woy manusia! Otak lu ada dimana? Lu punya otak masih kalau sama kotakan berkabel itu! Haha”

Kalau aku, pasti sakit hati. Kalau perlu aku bakar monyetnya. Tersinggung? Ya pasti lah.

Googling nggak dilarang kok selama itu membantu kita. Tapi akan menjadi nggak baik kalau itu membuat kita ketergantungan sampai diajak-ajak waktu ulangan. Efek dari segala sesuatu yang instant pasti munculnya jangka panjang.

Lalu yang jadi masalah disini adalah penggunaan handphone. Piranti ini sangat membantu kita. Kita tidak perlu lagi melakukan hal yang sama seperti kakek dan nenek kita waktu itu. Tapi tanpa disadari, barang itu telah mencederai kegiatan kita lho. Bayangkan, bagaimana kaburnya konsentrasi kita ketika dosen sedang menjelaskan materi yang sangat penting dikelas, tiba-tiba sang pacar sms, bbm, we chat, kakao, atau istilah yang lain lah. Pengetahuan yang seharusnya kita peroleh utuh menjadi cedera gara-gara ponsel. Belum lagi aktifitas lannya. Kalian pasti bisa menilai sendiri deh.

Ayo kawan, mulailah berbenah diri. Manfaatkan teknologi sebijak mungkin. Sambutlah kedatangannya dengan daya adaptasi yang tepat, bukan menerima dan menelannya mentah-mentah sehingga akan banyak muntahan yang keluaar darinya. Jangan sampai diperdaya oleh teknologi. Jangan sampai teknologi datang sebagai pencedera.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline