Lihat ke Halaman Asli

Letak HAM Korban KDRT dalam Islam

Diperbarui: 24 Juni 2015   14:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Letak HAM Korban KDRT dalam Islam

Oleh : Siti Nur Hidayati

Salah satu hal penting yang telah menjadi perhatian serius oleh pemerintah pada era dewasa ini adalah maraknya diangkatnya masalah kekerasan dalam rumah tangga atau lebih dikenal dengan istilah KDRT, diantaranya kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap isteri atau kekerasan oleh orang tua terhadap anak, untuk diatur dengan suatu undang-undang. Hal ini mengingat bahwa KDRT adalah suatu bentuk pelanggaran hak-hak asasi manusia dan kejahatan terhadap kemanusiaan, juga merupakan tindakan diskriminasi.

Saya ingin mengawali tulisan ini dengan mengklirkan terlebih dahulu istilah Hak Asasi Manusia atau yang lebih dikenal dengan sebutan HAM. Hak Asasi Manusia dalam kamus Bahasa Indonesia memberi pengertian sebagai hak-hak mendasar pada diri manusia. Hak Asasi Manusia adalah hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dihormati, dilindungi dan dipertahankan serta tidak boleh diabaikan atau dirampas oleh siapapun.

Islam sebagai agama bagi pengikutnya meyakini konsep Islam adalah sebagai way of life yang berarti pandangan hidup. Islam menurut para penganutnya merupakan konsep yang lengkap mengatur segala aspek kehidupan manusia. Begitu juga dalam pengaturan mengenai hak asasi manusia Islam pun mengtur mengenai hak asasi manusia. Islam adalah agama rahmatan lil alamin yang berarti agama rahmat bagi seluruh alam. Bahkan dalam ketidakadilan sosial sekalipun Islam pun mengatur mengenai konsep kaum mustadhafin yang harus dibela.

Kekerasan dalam Rumah Tangga merupakan salah satu persoalan serius yang terjadi di Indonesia. Menurut Estoe Rakhmi Fanani, SPi, Direktur LBH APIK (Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan untuk Keadilan Jakarta), Meski Indonesia sudah menerapkan UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), persoalan KDRT belum sepenuhnya bisa diatasi. Namun demikian, semakin hari perhatian dan kesadaran masyarakat terhadap persoalan KDRT ini tampak semakin berkembang. Beberapa kasus KDRT juga mendapat perhatian cukup signifikan di media massa. Tentu saja, kerja keras lebih masih dibutuhkan agar KDRT benar-benar bisa dihapuskan.

Berangkat dari sedikit pemaparan diatas, maka makalah ini akan mencoba memberikan sedikit penerangan mengenai letak HAM korban KDRT dalam Islam.

HAM pada Islam

HAM dalam Islam telah dibicarakan sejak empat belas abad yang lalu. Ini dibuktikan oleh adanya Piagam Madinah yang terjadi pada saat Nabi Muhammad berhijrah ke kota Madinah. Dalam Dokumen Madinah atau Piagam Madinah itu berisi antara lain pengakuan dan penegasan bahwa semua kelompok di kota Nabi itu, baik umat yahudi, umat nasrani maupun umat Islam sendiri, adalah merupakan satu bangsa. Dari pengakuan terhadap semua pihak untuk bekerja sama sebagai satu bangsa, didalam piagam itu terdapat pengakuan mengenai HAM bagi masing-masing pihak yang bersepakat dalam piagam itu. Secara langsung dapat kita lihat bahwa dalam piagam madinah itu menggenai hak asasi manusia sudah mendapatkan pengkuan oleh Islam jauh sebelum dunia modern menyuarakan tentang HAM.

Konsep HAM dalam Islam

Salah satu bagian ajaran di antara ajaran-ajaran Islam adalah sikap untuk menjunjung tinggi hak sesama manusia. Salah satu buktinya adalah firman Allah dalam Al-Qur’an :

“Katakanlah, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah. Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagiNya. Dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri kepada Allah.”

Agama islam memerintahkan umat manusia untuk mengikuti bimbingan Yang Maha Kuasa selama hidupnya. Tujuan eksistensi manusia di dunia menurut Islam adalah semata-mata untuk beribadah, menghambakan diri sepenuhnya hanya kepada Allah.

Dari pernyataan diatas, mungkin sebagian orang menyangka bahwa manusia (dalam Islam) tidak memiliki hak-hak selain hanya kewajiban-kewajiban. Pandangan tersebut tentu saja keliru. A.K. Broni menyatakan,”Dalam totalitas Islam, kewajiban manusia kepada Allah mencanakup juga kewajibannya kepada setiap individu-individu yang lain. Maka secara paradoks hak-hak setiap individu itu dilindungi oleh segala kewajiban di bawah hukum Ilahi. Sebagaimana suatu negara secara bersama-sama dengan rakyat harus tunduk kepada hukum yang berarti negara juga harus melindungi hak-hak individual.”

Petunjuk Ilahi yang berisikan hak dan kewajiban tersebut telah disampaikan kepada umat manusia semenjak manusia ada dimuka bumi. Kewajiban yang diperintahkan kepada umat manusia di bawah petunjuk Ilahi dapat dibagi ke dalam dua kategori yaitu :

I.Huquuqullah.

Ialah kewajiban-kewajiban manusia terhadap Allah yang diwujudkan dalam berbagai ritual ibadah.

II.Huquuqul-‘ibad.

Merupakan kewajiban-kewajiban manusia terhadap sesamannya dan terhadap mahluk-mahluk ciptan Allah lainnya. Kategori huquuqul-‘ibad ini dibagi lagi menjadi dua bagian dalam bentuk HAM, yaitu meliputi :

i.HAM yang keberadaanya dapat diselenggarakan oleh suatu negara islam, dan hak-haknya biasa disebut sebagai hak legal.

ii.HAM yang keberadaanya tidak secara langsung dapat dilaksanakan oleh suatu negara. Dan biasanya dikenal sebagai hak moral

Perbedaan mendasar dari kedua konsep diatas hanyalah terletak pada masalah pertanggungjawabannya didepan  suatu negara Islam. Adapun dalam masalah sumber asal, sifat, dan pertanggungjawabannya dihadapan Allah Yang Maha Kuasa itu sama.

Aspek khas dalam konsep HAM Islam adalah tidak adanya orang lain yang dapat memaafkan suatu pelanggaran hak-hak jika pelanggaran itu terjadi atas seseorang yang harus dipenuhi hak-haknya. Meskipun Allah sendiri yang telah menganugra

hkan  hak-hak ini, dan secara  asalnya adalah tetap bagiNya serta di depanNya lah semua manusia wajib mempertanggungjawabkan segala bentuk tindakannya.

Keadilan HAM dalam Konsep Peradilan Islam

Islam menggariskan bahwa penegakan hukum dan hak asasi manusia bisa berjalan dengan baik, menuntut sumber daya manusia yang komite terhadap pelaksanaan amanat dan keadilan. Dr. AM. Mujahidin, MH Hakim Pengadilan Agama Jember Jatim menyatakan, untuk dapat melaksanakan usaha penegakkan hukum dan keadilan yang baik, dibutuhkan adanya political will dan good wiil para pemimpin bangsa yang sungguh-sungguh dan konsisten. Dalam konteks ini pula Al-Qur’an memerintahkan kepada masyarakat untu taat kepada ulil amri’. Pada ayat 59 surat An-Nissa’ disebutkan bahwa ulil amri’ di dalam melaksanakan  tugas-tugas dan programnya (penegak hukum), keadilan dan menjunjung tinggi nilai-nilai harkat martabat hak asasi manusia, sejalan dengan perintah Allah dan RasulNya.

Keberadaan lembaga peradilan yang otonom dan independen merupakan elemen penting bagi upaya penegakan hukum, eksistensi suatu negara, dan tegaknya suatu tatanan dalam masyarakat. Di lembaga peradailan inilah tanggung jawab pemeliharaan jiwa, harta, hak, ketertiban hukum, ketenanggan dan keadilan  dalam masyarakat bisa diwujudkan.

Manifestasi rasa keadilan menurut Ibnu Taimiyah adalah berpegang teguh pada dua kata kunci, yaitu menjalankan amanat kepada yang berhak dan menegakkan hukum serta hak asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam QS. An-Nissa’ ayat 58 yang menyebutkan untuk mewajibkan kepada kita untuk memenuhi amanat kepada yang berhak dan menegakkan hukum secara adil. Dua hal tersebut merupakan satu kesatuan politik yang adil dan kekuasaan yang baik serta tidak dapat dipisah-pisahkan.

KDRT dalam Pandangan Islam

Kekerasan sama halnya dengan kriminalitas, kriminalitas dalam Islam adalah tindakan melanggar peraturan yang telah ditetapkan oleh syariat Islam dan termasuk dalam kategori kejahatan, sementara kejahatan dalam Islam adalah perbuatan tercela. kejahatan bisa menimpa siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan. Pelakunya juga bisa laki-laki dan bisa pula perempuan. Dengan demikian Islam pun menjatuhkan sanksi tanpa melihat apakah korbannya laki-laki atau perempuan. Tidak pula melihat apakah pelakunya laki-laki atau perempuan, tapi yang dilihat apakah dia melanggar hukum Allah atau tidak.

Namun kecenderungan yang terjadi di Indonesia, korban KDRT lebih didominasi oleh kaum perempuan berdasarkan data dari LBH APIK menyebutkan ada 83 Kasus KDRT selama empat bulan pertama tahun 2007 di wilayah Jakarta, sebagian besar kasus tersebut menempatkan perempuan sebagai korban yang dilakukan oleh suami. Kasus ini berakhir dengan perceraian (30), pidana (9) mediasi (6) dan Konsultasi Pernikahan (38).

Islam tidak pernah membenarkan seorang suami bertindak kejam terhadap istrinya baik secara lahir maupun secara batin. Karena Islam adalah agama yang mempunyai nilai-nilai prinsipil seperti nilai egalitarian, keadilan, dan kemanusiaan. Berikut ini ayat-ayat Alqur-an dan hadist nabi yang mengharuskan suami untuk berlaku sopan, penyayang dan lemah lembut kepada istrinya.

Dalam Surat An-nisa : 19 yang menyatakan "Wahai orang yang beriman, tiada dihalalkan bagimu mempusakai perempuan dengan paksaan dan janganlah bertindak kejam terhadap mereka….sebaliknya bergaullah dengan mereka secara baik-baik lagi adil. Hiduplah bersama mereka dalam kebajikan".

Dalam surat Ar-rum : 21 yang pada intinya menyuruh kepada suami istri untuk hidup saling sayang menyayangi dan cinta mencintai.

Aisyah ra meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah bersabda "Yang paling baik dikalangan kamu adalah mereka paling sopan terhadap istrinya" (HR. Tarmizi)

Dalam hadistnya Rasulullah SAW "…para suami yang memukul istrinya bukanlah termasuk orang-orang baik diantara kamu"(HR.Abu Daud, Nasa’i dan Ibnu Majah).

Dalam hadistnya Rasulullah SAW "Janganlah kamu memukul hamba-hamba perempuan Allah"(HR. Abu Daud dengan isnad yang shahih )

Hal-hal berkenaan dengan KDRT dalam islam dijelaskan sebagai berikut:

I.Qodzaf, yakni melempar tuduhan. Misalnya menuduh wanita baik-baik berzina tanpa bisa memberikan bukti yang bisa diterima oleh syariat Islam. Saksi hukumnya adalah 80 kali cambukan. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT “ dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat saksi, maka deralah 80 kali” (QS. An-Nur, 4-5).

II.Membunuh, yakni “menghilangkan” nyawa seseorang. Dalam hal ini sanksi bagi pelakunya adalah qhisos (hukuman mati) firman Allah SWT “diwajibkan atas kamu qishos berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh” (QS. Al Baqoroh, 179).

III.Mensodomi, yakni menggauli wanita pada duburnya. Haram hukumnya sehingga pelaku wajib dikenai sanksi. Dari Ibnu Abbas berkata, Rasulullah Saw bersabda “Allah tidak akan melihat seorang laki-laki yang mendatangi laki-laki (homoseksual) dan mendatangi istrinya pada duburnya”. Sanksi hukumnya adalah ta’zir berupa hukuman yang bentuknya diserahkan kepada pengadilan yang berfungsi untuk mencegah hal yang sama terjadi.

IV.Penyerangan terhadap anggota tubuh, saksi hukumnya adalah membayar diyat (100 ekor unta), tergantung pada tubuh yang disakiti. Penyerah terhadap lidah dikenakan sanksi 100 ekor unta, 1 biji mata dan 1 kaki 50 ekor unta, luka yang sampai selaput batok kepala dan luka dalam 1/3 diyat, luka sampai ke tulang dan mematahkannya 15 ekor unta, luka pada gigi dan luka pada tulang hingga kelihatan 5 ekor unta.

V.Perbuatan-perbuatan cabul, seperti berusaha melakukan zina dengan perempuan (namun belum sampai melakukannya) dikenakan sanksi penjara 3 tahun, ditambah jilid dan pengusiran, kalau wanita itu berada dalam kendalinya, seperti pembantu rumah tangga maka diberikan sanksi yang maksimal.

VI.Penghinaan, jika ada dua orang saling menghina sementara keduanya tidak memiliki bukti tentang faktanya, maka keduanya akan dikenakan sanksi 4 tahun penjara.

Pemicu Tindakan KDRT

Menurut Asri Supatmiati, bahwa faktor KDRT di sebabkan oleh dua hal pertama, faktor individu yakni tidak adanya ketakwaan pada individu, lemahnya pemahaman terhadap relasi suami isteri dalam rumah tangga, dan karakteristik individu yang temperamental adalah pemicu bagi seseorang untuk melanggar hukum syara’ termasuk melakukan tindakan KDRT. Kedua, faktor sistemik yaitu kekerasan yang terjadi saat ini sudah menggejala menjadi penyakit sosial di masyarakat, baik di lingkungan domestik maupun publik. Kekerasan yang terjadi bersifat struktural yang disebabkan oleh berlakunya sistem yang tidak menjamin kesejahteraan masyarakat, mengabaikan nilai-nilai ruhiyah dan menafikan perlindungan atas eksistensi manusia. Tak lain dan tak bukan ialah sistem kapitalisme-sekuler yangn.

Hak-hak Korban KDRT

Hak-hak korban KDRT, yaitu meliputi pemulihan korbandan penyelesaian KDRT melalui penerapan sanksi hukum. Sedangkan perlindungan hukum bagi perempuan korban KDRT menurut hukum Islam yaitu Perjanjian suami atas istri ketika akad nikah (Sighat Ta’liq Talaq) dan hak perempuan atas suami untuk meminta cerai (Khulu’). Dan perlindungan hukum bagi perempuan KDRT menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah Perlindungan Sementara, penetapan perintah perlindungan oleh Pengadilan berkewajiban menyediakan Ruang Pelayanan Khusus (RPK) di kantor kepolisian, penyediaan rumah aman atau tempat tinggal alternatif, pemberian konsultasi hukum oleh advokat mengenai informasi hak-hak korban dan proses peradilan, pendampingan advokat terhadap korban pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline