Lihat ke Halaman Asli

Hida Al Maida

Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Sumatera Utara

Bukan Salahnya Ibu (Cerpen)

Diperbarui: 22 Juni 2023   10:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber: Hadeelmdp

Juara Favorit dalam Lomba Tulis Puisi Tingkat Nasional Oleh Ruang Lomba Nasional

Ibu hilang. Kabar itu kuterima 24 jam setelah seluruh orang rumah menyadari bahwa Ibu tidak ada di rumah.

Bagaimana Ibu bisa hilang dan kapan tepatnya Ibu meninggalkan rumah, tidak ada satupun yang tahu. Tidak ayah, kedua kakak, satu abang, tiga ipar, maupun empat keponakanku yang tinggal seatap dengan Ibu.

Apalagi aku.

Kalau saja ayah tidak menyadari pintu depan dan pagar yang terbuka di pagi hari, serta menghilangnya kacamata Ibu dari lemari tivi, seluruh orang rumah mungkin telah mengira Ibu diculik jin, hantu, atau makhluk sejenisnya---mereka tidak akan melakukan penculikan sepiawai itu.

Aku kalang kabut. Meninggalkan episode 12 drama yang ingin kutonton di Sabtu pagi itu---healing akhir pekanku setelah hari-hari kerja yang menyiksa---aku lantas memesan tiket kereta untuk pulang ke rumah. Tidak lupa kubekali diriku dengan sebungkus roti dan sebotol air mineral untuk tiga jam perjalanan itu.

Usut punya usut, beginilah kira-kira kronologi menghilangnya Ibu. Ayah yang pekan lalu merayakan ulang tahunnya yang ke-65 tahun, bangun saat matahari sudah tinggi. Ibu tidak membangunkannya. Ibu juga tidak ada di dapur atau teras depan, apalagi halaman belakang. Awalnya, ayah berbaik sangka bahwa barangkali, Ibu tengah pergi ke kedai di ujung jalan membeli gula atau telur untuk sarapan.

Namun, membeli macam apa yang menyita waktu dari pagi hingga tengah hari?

"Abang dan kakak-kakakmu sudah mencari ke mana-mana, tapi tidak ketemu. Ke rumah adik Ibumu, ke rumah peninggalan nenek dan kakekmu, bahkan menelepon adik Ibumu yang di luar kota---siapa tahu Ibumu nekat pergi ke sana seorang diri," cerita ayah di telepon tadi.

Ini aneh. Sungguh.

Selama dua puluh enam tahun, aku mengenal Ibu sebagai sosok yang tenang, teratur, dan sedikit pendiam. Ibu tidak senang bergosip atau saling menyindir dengan tetangga, Ibu tidak suka meladeni hal-hal tidak perlu, dan Ibu selalu menjadi penengah dalam masalah apapun yang terjadi di rumah. Selama dua puluh enam tahun, aku memandang Ibu sebagai manusia 'tanpa masalah'.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline