Lihat ke Halaman Asli

Hida Al Maida

Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Sumatera Utara

Takut

Diperbarui: 22 Juni 2023   10:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Akhir-akhir ini, berita di televisi selalu sama. Tentang kematian. Ada pria tua yang ditemukan tewas di rumahnya, seorang gadis yang dibunuh di hutan, kecelakaan yang memakan banyak korban, bencana alam yang menewaskan ratusan orang, dan kabar-kabar duka lainnya yang datang dari berbagai penjuru, dari setiap sudut di setiap tempat.

            Karenanya, Harianja jadi punya gangguan kecemasan yang akut.

            Harianja, pria yang masih melajang di usianya yang ke-35 tahun itu, tidak lagi berani menggunakan lift ke lantai 20, lantai apartemennya. Harianja takut jika tiba-tiba lift yang dinaikinya rusak. Iya kalau petugas kebakaran segera datang menyelamatkannya. Kalau tidak, Harianja akan mati sia-sia karena kehabisan nafas di dalamnya.

            Tak hanya takut naik lift, Harianja juga mengurangi mengonsumsi kopi, rutin minum suplemen kesehatan, tidak pernah lagi menyentuh makanan-makanan laut, selalu menyetir dengan hati-hati, memastikan jendela di apartemennya senantiasa terkunci rapat serta mengganti warna tirai jendelanya menjadi hitam, bahkan kerap mondar-mandir di apartemennya sebelum tidur. Harianja takut jika dia tiba-tiba mati dan akan ditemukan seminggu kemudian ketika petugas kebersihan datang untuk membersihkan apartemennya.

            Ah, hidup yang mengenaskan.

            Kadang kala, pria itu bertanya-tanya. Apa ada hidup yang lebih mudah dari ini? Hidup di mana dia tidak perlu memikirkan dan mengkhawatirkan apapun?

            "Kurasa kau perlu menikah, Hari." Salah satu teman kantornya berkomentar saat Harianja menceritakan keresahannya akhir-akhir ini.

            Cukup lama Harianja menimbang. Pernikahan bukan hal yang mudah. Harianja tahu itu bahkan saat usianya baru sepuluh tahun. Ketika dia melihat ayahnya memukuli ibunya hingga babak belur, ketika dia mendengar pertengkaran di setiap tempat dan waktu, ketika dia akhirnya pindah ke rumah yang lebih kecil dan melihat ibunya bergonta-ganti pasangan sebelum akhirnya meninggal karena penyakit menular seksual.

            "Sejauh ini, aku belum pernah membayangkan pernikahan sebagai fase yang menyenangkan dalam hidup," sahut Harianja pada akhirnya.

            "Pemikiran itu akan patah saat kau menjalani pernikahan, Hari. Lupakan soal cinta atau tidak. Kau tidak bisa hidup seorang diri selamanya. Kau butuh seseorang saat kau sakit, bahkan saat kau bahagia. Percayalah, kau bisa merasakan dan mengingat kebahagiaan lebih lama jika kau menikmatinya bersama seseorang. Lagipula, keresahanmu ini hanya akan hilang saat ada seseorang di sisimu, Hari," petuah rekan kerjanya itu lagi.

            Harianja belum percaya. Belum bisa menelan petuah itu bulat-bulat untuk dia tunaikan. Sekalipun Chandra---rekan kerjanya itu---tampak selalu berseri-seri ketika menyantap makan siang yang dibekalkan istrinya atau ketika bertelepon dengan dua anaknya, Harianja belum bisa memercayainya. Toh, di beberapa kesempatan, Harianja pernah melihatnya datang ke kantor dengan wajah muram karena anaknya demam, atau berwajah suntuk ketika bayaran untuk sewa rumahnya tertunggak sementara gajinya belum turun.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline