Hari Ke-3.679
~Ditulis untuk seseorang, semoga hal-hal baik selalu bersamanya
Sepuluh tahun berlalu, Renjana masih kerap bertanya-tanya tentang definisi apa yang paling tepat untuk menggambarkan sosok Alwi dalam hidupnya. Teman masa sekolah, teman berbagi cerita di masa-masa sulit kuliah dan rindu rumah, pria yang akhirnya membawanya mengunjungi Banda Neira, atau pria yang membersamainya mewujudkan berbagai mimpinya yang sederhana.
Nana---begitu ia akrab dipanggil---berpikir waktu setahun dua tahun akan menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya tentang pria itu. Menjawab semua ragu, cemas, juga gusar yang kerap membentuk sarang di kepalanya. Barangkali jika lomba isu kepercayaan benar-benar ada, Nana akan mengajukan diri. Dan, berita baiknya, sepuluh tahun yang berlalu itu tak banyak mengubah apapun tentang Alwi dalam kacamata Nana.
Tidak di hari ke-3.679
Nana terbangun dengan ponsel yang sepi, buku berserak---hampir memenuhi seluruh lantai kamar---dan laptop yang masih menyala, sisa pekerjaan semalam yang gagal ia selesaikan karena banyak pikiran.
Sebenarnya dalam sepuluh tahun terakhir, bukan sekali dua kali, baik Nana ataupun Alwi saling menjauh, saling tak memberi kabar, atau bahkan menolak bertemu satu sama lain. Sayang, waktu mengubah banyak hal, khususnya isi kepala. Bagi Nana, mereka terlalu tua untuk melakonkan drama.
Sekali lagi, Nana mengecek ponselnya. hanya ada pesan singkat berisi teror dari editor yang menangani novelnya, yang dengan sungguh-sungguh dan keyakinan penuh tak ingin dibalas atau dibacanya seluruh isinya.
"Lihat! Akhirnya semua orang akan menunjukkan sifat aslinya," gerutunya. Tersuruk-suruk meninggalkan karpet untuk ke dapur, menyeduh kopi yang akhirnya bisa ia nikmati lagi setelah sekian lama.
Di dapur, rasa kesalnya padam. Cemas dan gusar memenuhi tiap inci dirinya. Juga rasa bersalah yang seolah mencekik leher. "Kesalahanku juga tidak bisa ditampik," gumamnya sendu sembari melempar tatapan ke luar jendela. Semesta seolah mendukung suasana hatinya. "Tidak dulu atau sekarang, masih saja seperti remaja."
Kopinya hanya habis seteguk. Ingatan tentang tiket konser yang terbengkalai---karena kesibukan dan waktu luang yang tak bisa disepakatkan---membawa langkahnya kembali ke kamar. Nana memutar-mutar memori, mencari-cari penyebab Alwi mendadak hilang dari dunianya. "Bisa jadi karena tiket ini." Nana bergumam, masih mencari-cari. Terlalu banyak isi kepala tak jarang menjadikannya amat pelupa. "Ah, aku juga tidak menghadiri undangan ini. Tidak yang ini. Ini juga tidak," rutuknya kemudian. Satu-persatu undangan lama yang memenuhi meja kerjanya diteliti.
Nana berakhir di tepi jendela. Dengan isi kepala yang riuh. Perasaan-perasaan yang tak utuh. Serta sesuatu dalam dirinya yang mendesak luluh. Nyatanya, Nana hanya menolak membenarkan tawaran yang sengaja ia lupakan. Perkaranya sederhana, Nana belum menemukan definisi paling tepat untuk menggambarkan sosok Alwi dalam hidupnya.