Lihat ke Halaman Asli

Hibatul Wafiroh

22107030029_UinSuka

Mie Ayam Tumini, dari Warung Kecil hingga Ekspansi Nasional

Diperbarui: 13 Juni 2023   09:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi Pribadi

Sebenarnya, ada banyak pilihan makanan ringan di Indonesia, tetapi hanya ada beberapa yang diminati oleh semua orang, seperti bakso dan mi ayam. Kedua makanan itu mudah ditemukan di mana-mana, dan setiap daerah di Indonesia memiliki citarasa yang berbeda-beda yang biasanya disesuaikan dengan selera penduduk setempat. Bahkan di kota pelajar seperti Yogyakarta, ada jagoan sendiri, yaitu Warung Mie Ayam Bu Tumini, yang termasuk salah satu kuliner legendaris di kota tersebut.

Pada tanggal 8 Februari kemarin, warga Yogyakarta kehilangan Bu Tumini, pemilik Warung Mie Ayam Tumini yang merupakan salah satu mie ayam favorit di kota Gudeg. Bu Tumini meninggal dunia karena masalah pernapasan pada usia 63 tahun setelah dirawat di salah satu rumah sakit di Yogyakarta.
Meskipun Bu Tumini sudah tiada, warung mie ayam ini tetap menjadi favorit banyak orang. Ini adalah kisah sukses Mie Ayam Tumini yang legendaris!

Eko Supriyanto, anak pertama Bu Tumini dan Suparman, menceritakan perjuangan keluarganya dalam memulai usaha mie ayam.

Pada tahun 1989, Suparman menyewakan beberapa gerobak mie ayam kepada pedagang keliling di kawasan Kota Gede dengan harga sewa Rp 500 per hari.
Suparman sendiri pandai membuat mie yang ia pelajari dari salah satu saudaranya di Cirebon, Jawa Barat.
Suparman dan Tumini kemudian menyuplai mie basah kepada pedagang keliling yang menyewa gerobak mereka.

Setelah mendapatkan modal dari penyewaan gerobak, pasangan suami istri yang memiliki 5 anak membuka usaha mie ayam di utara pintu masuk Terminal Giwangan pada tahun 1990.

Lokasi tersebut masih digunakan untuk berjualan hingga saat ini.

Saat pertama kali dibuka, Suparman menjual satu porsi mie ayam seharga Rp 250. Dalam sehari, mereka berhasil menjual hingga 30 porsi dan 60 porsi di akhir pekan.

Pada tahun 1996, Suparman mengalami kecelakaan dan meninggal dunia setelah dirawat selama 2 minggu.
Pada saat itu, usaha mie ayam sempat diserahkan kepada kerabat mereka. Namun, omzetnya menurun karena cara memasaknya berbeda.

Bu Tumini kemudian mengambil alih usaha tersebut dan seiring berjalannya waktu, mie ayamnya kembali laris.
Setelah ditemukan kombinasi sempurna antara potongan sawi hijau dan labu siam yang diblender, Mie Ayam Bu Tumini berhasil menciptakan kuah kental yang menjadi ciri khasnya. Meskipun tampilan seporsi mie ayam di warung ini sederhana, tanpa banyak toping di atasnya, namun rasanya kompleks dan menggugah selera.

Keberhasilan Mie Ayam Bu Tumini tidak terlepas dari perjuangan keluarga Suparman dan Tumini. Pada awalnya, mereka menyewakan gerobak mi ayam kepada pedagang keliling di Kota Gede dengan harga Rp 500 per hari. Suparman, yang piawai dalam pembuatan mi, belajar teknik tersebut dari salah satu saudaranya di Cirebon.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline