Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan mengadakan acara debat antara calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) pada Selasa (12/12). Dalam kesempatan tersebut, pasangan calon (paslon) diharapkan akan menyampaikan janji politik mereka jika terpilih sebagai presiden dan wakil presiden. Janji-janji politik ini sebenarnya sudah dinyatakan kepada masyarakat selama kampanye di lapangan, termasuk oleh calon legislatif selama masa kampanye yang dimulai sejak 28 November lalu. Pertanyaannya, apakah rakyat memiliki hak untuk mengajukan gugatan jika janji politik tersebut tidak terealisasi setelah paslon tersebut memenangkan pemilu?
Merujuk pada artikel klinik Hukumonline, Pemilihan Umum (Pemilu) diatur oleh Pasal 1 angka 1 UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang menyebutkan bahwa Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, Presiden dan Wakil Presiden. Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Kampanye pemilu merupakan tahap penting dalam proses pemilu, di mana peserta pemilu menyampaikan visi, misi, program, dan citra diri mereka untuk meyakinkan pemilih. Kampanye ini dilakukan oleh pelaksana kampanye dan diikuti oleh peserta kampanye, melibatkan berbagai metode seperti pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, penyebaran bahan kampanye, pemasangan alat peraga di tempat umum, media sosial, iklan media massa, rapat umum, debat pasangan calon, dan kegiatan lainnya yang tidak melanggar aturan kampanye pemilu.
Pertanyaannya kemudian muncul, apakah masyarakat dapat menggugat janji politik caleg atau capres yang tidak direalisasikan setelah terpilih? Dalam konteks hukum perdata, janji politik yang disampaikan selama kampanye tidak dapat dianggap sebagai perjanjian yang mengikat. Perjanjian dalam hukum perdata melibatkan persetujuan antara dua pihak atau lebih untuk melakukan suatu hal dengan timbal balik prestasi dari kedua belah pihak. Namun, janji politik lebih bersifat retorika dalam upaya meyakinkan pemilih dan tidak menghasilkan perjanjian yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Dalam kasus tertentu, walaupun janji politik tidak terlaksana setelah pemilihan, hal tersebut tidak dapat dianggap sebagai wanprestasi yang dapat digugat secara hukum. Menurut pandangan hukum, janji politik bukanlah janji dalam konteks hukum perdata. Kegagalan dalam memenuhi janji politik tidak dapat dianggap sebagai pelanggaran hukum yang dapat membuka pintu bagi tuntutan hukum. Oleh karena itu, kesengajaan atau ketidakberhasilan pasangan calon untuk memenuhi janji politik tidak dapat menjadi dasar untuk sengketa hukum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H