Sebagaimana diberitakan di kompas.com, 250 warga di Jember keracunan ikan tongkol. Diduga kuat bahwa ikan tersebut disimpan pada suhu yang "terlalu hangat", yaitu di atas 6 derajad (celsius). Oleh karena itu, kandungan histamine dalam ikan meningkat dan itu menjadi racun. Mengapa angka 6? Kan lebih enak menggunakan angka 5 atau 10 yang lebih mudah diingat.
Kasus lain adalah hal-hal yang telah dilaporkan melalui reportase investigasi yang disiarkan TV swasta beberapa tahun yang lalu. Saya tidak tahu apakah program sejenis masih ada atau tidak.
Namun, program tersebut memberikan edukasi kepada konsumen untuk berhati-hati. Kesimpulannya adalah sebaiknya membuat sendiri saja makanan dan minuman yang ingin dikonsumsi.
Sebelum ada BJPS
Ketika acara reportase investigasi ditayangkan beberapa tahun yang lalu, Indonesia belum menerapkan BJPS. Kala itu, sakit menjadi risiko warga negara sendiri. Bahkan ada omongan bahwa orang miskin tidak boleh sakit karena biayanya bisa di luar kemampuannya.
Kepedulian negara terhadap kesehatan warganya tercermin dari kehadiran BPOM. Di situlah negara hadir membela warganya dari berbagai serbuan makanan dan obat yang berbahaya. BPOM sudah berulang kali melakukan sidak di supermarket dan toko untuk mengevaluasi makanan dan minuman yang sudah tidak layak jual lagi.
Saya rasa, BPOM juga akan melakukan sidak di depot dan restoran karena alasan yang sama. Masalahnya, BPOM akan kekurangan waktu, tenaga, dan biaya untuk sidak ke para pedagang penjual makanan keliling yang jumlahnya terlalu banyak dan bisa bertambah setiap hari.
Supermarket, toko, depot, dan restoran yang melanggar ketentuan bisa dicabut izin usahanya. Lalu bagaimana dengan pedagang makanan keliling?
Mereka tidak punya izin khusus, sehingga BPOM juga tidak bisa menjerat mereka ketika ditemukan pelanggaran. Membayar denda atau dimasukkan penjara adalah langkah yang mungkin diambil.
Namun, ini pun tidak mudah, apakah sekelompok orang ini saja yang melakukan praktek yang demikian? Belum lagi nanti urusan HAM dibawa-bawa karena dianggap tidak peduli dengan orang kecil yang mengais rejeki untuk hidup.
Oleh karena BPJS belum ada, maka orang itu sendiri yang menanggung biaya sakit gara mengkonsumsi makanan. Jika keracunan itu diketahui dari depot tertentu, mungkin pemilik depot yang harus menanggung biaya sakitnya.
Lalu bagaimana dengan sakit akibat dampak jangka panjang mengkonsumsi makanan yang mengandung zat berbahaya? Ini menjadi urusan pribadi yang bersangkutan.