Lihat ke Halaman Asli

Hany Ferdinando

TERVERIFIKASI

Penikmat buku dan musik yang suka tentang teknologi, psikologi, pendidikan, flora dan fauna, kebudayaan, dan hubungan antar manusia.

Sebuah Refleksi Pilkada Serentak

Diperbarui: 18 April 2017   14:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://4.bp.blogspot.com/-1Lo_NNvL1jo/VtE10D7hwbI/AAAAAAAABns/Xve0zx0Sy-0/s640/Jenis%2Bdan%2BSumber%2BKetidakpastian.jpg

Orang mengatakan bahwa Indonesia adalah negara 2 musim. Benarkah demikian? Bukankah kita punya musim durian, musim rambutan, musim klengkeng, musim srikaya, dkk? Ditambah dengan dengan kebijakan Pemerintah untuk mengadakan Pilkada serentak, maka bertambah pula koleksi musim di Indonesia, sejak 2 bulan yang lalu. Jika di musim buah-buahan orang berburu buah yang memang hanya muncul musiman, di musim Pilkada ini orang juga memburu sesuatu. Apa itu? Jika di musim buah-buahan, kita melihat banyak orang menjual buah yang sedang memasuki musimnya, di masa Pilkada kita juga melihat orang menjual sesuatu yang hanya ada di musim Pilkada (PROGRAM). Apa itu? Saat musim buah tertentu tiba, maka ada musim lain yang mengikutinya, dan di masa Pilkada juga ada musim lain yang mengikutinya (KETIDAKJUJURAN). Apa itu?

Saat musim Pilkada, orang memburu berita seputar Pilkada dengan ganasnya. Semua berita terkait Pilkada, entah benar entah tidak, akan langsung dibaca, bahkan tanpa mempertanyakan keabsahan sumbernya. Bukankah di musim buah, banyak penjual yang tidak jujur juga terkait kualitas buah jualannya? Mangga yang dibilang MASAK POHON ternyata MASAKnya BOHONGan. Rambutan yang katanya rambutan rapiah, ternyata adalah rambutan biasa yang masuk salon 

Saat musim Pilkada, orang berjualan program yang diusung calon kepala daerah. Berjualannya pun juga mengikuti perkembangan jaman, yaitu jualan online! Berbagai situs dibuat untuk menjual program yang diusung sang calon. Orang berjualan berita terkait program calon kepala daerah dan mungkin juga menjual berita tentang pribadi sang calon.

Masa Pilkada buat sekelompok orang adalah masa mendulang rupiah. Lihat saja berita hoax tersebar dengan mudahnya. Traffic ke situs tertentu melonjak karena berita ini dibagikan ke orang lain yang mungkin sepaham untuk saling menguatkan atau ke pihak lawan untuk memperkuat argumen. Dampatknya pembelian paket data mungkin mengalami peningkatan dan operator penyedia layanan data juga mendapatkan bonus dari masa Pilkada ini. Wow, ternyata Pilkada menyimpan segudang misteri yang menguntungkan banyak pihak.

Berita dan tulisan yang laku 'dijual' adalah hal-hal yang terkait secara kontekstual. Jika Anda menulsi tentang festival budaya daerah tertentu di Indonesia di musim Pilkada, maka itu bukan sesuatu yang kontekstual dan tidak laku dijual. Traffic tidak akan setinggi saat Indonesia sedang maraknya mendiskusikan tentang keragaman budaya. Demikian juga menulis berita terkait dengan ulasan kampanye partai tertentu di luar musim Pilkada. Bisa dipastikan, tulisan tersebut hanya akan dilewatkan begitu saja. Mengapa? Karena tidak kontekstual.

 Jadi, muncullah sebuah simbiosme yang saling menguntungkan. Penjual berita mendapat keuntungan karena tulisannya laku dijual dan 'pembeli' mendapatkan berita yang diinginkannya. Pas! Sebuah harmonisme telah tercipta.

Namun, di atas semuanya itu, muncul pula musim yang lain, yaitu ketidakjujuran. Banyak orang mengatakan bahwa kejujuran adalah sesuatu yang langka saat ini. Benarkah demikian? Bukankah di sekolah kita diajarkan untuk jujur dalam segala sesuatu? Bukankah banyak agama dan ajaran filsafat menjujung tinggi kejujuran? Bukankah setiap orang tua menginginkan anak yang jujur? Bukankah semua pemilik usaha menginginkan pegawai yang jujur? Bukankah pembeli ingin berhubungan dengan penjual yang jujur? Daftar ini bisa diteruskan sendiri sampai tidak ada media yang sanggup menampungnya.

Saya melihat ketidakjujuran berkembang dengan pesatnya di musim Pilkada. Berita hoax bertebaran, kampanye hitam marak dimana-mana yang berakibat munculnya saling tuding dan tuduh. Sebuah fenomena yang bertentangan dengan harapan untuk hadirnya masyarakat yang jujur. Harapan yang muncul dari lubuh hati yang paling dalam ini harus dikubur dalam-dalam karena ketidakmampuan banyak orang melakukan apa yang sebenarnya diinginkan. Bukankah orang yang tidak jujur dalam hidupnya tetap menuntut kejujuran dari orang lain? Sejahat-jahatnya seorang penipu ulung, tetap ingin memiliki anak yang jujur dan tidak mau ditipu anaknya sendiri.

Corruption perception index 2016 (survei: Jan 2017) menampilkan situasi ketidakjujuran di dunia (semakin gelap berarti semakin korup). Korupsi adalah cermin ketidakjujuran, bukan? Indonesia menempati peringkat 90 dari 176 negara. Somalia adalah negara terkorup dan Denmar adalah negara dengan tingkat kejujuran yang tinggi. Inikah cerminan Indonesia yang kita harapkan?

http://www.transparency.org/news/feature/corruption_perceptions_index_2016

Saat Pilkada adalah saat untuk memulai yang baru. Petahana diberi kesempatan untuk memperbaharui programnya. Para penantang diberi kesempatan memberikan harapan baru kepada masyarakat. Semua diberi kesempatan yang sama. Saya secara pribadi tidak setuju dengan komentar Anies Baswedan bahwa petahan tidak boleh memunculkan program baru dengan alasan 5 tahun ini ngapain. Bukankah kita semua mau maju? Apakah petahana yang sebelumnya memperbaiki birokrasi harus terus berkutat di program yang sama saat program sudah berjalan dengan baik? Logika saya tidak bisa menerima komentar seorang Doktor, mungkin ini karena pikiran saya yang terbatas.

Jika Pilkada adalah saat untuk memulai yang baru, apakah kita akan memulainya dengan ketidakjujuran? Apakah kita akan mengawalinya dengan kebohongan? Apakah kita akan membuka lembaran baru dengan kebencian karena tipu muslihat? Sesuatu yang dimulai dengan bersih saja bisa berakhir dengan kotor. Apakah sesuatu yang dimulai dengan kotor akan berakhir dengan bersih? Bisa saja! Tetapi kemungkinannya sangat kecil. Justru saat sesuatu dimulai dengan hal yang kotor, akan muncul kekotoran berikutnya untuk menutupi kekotoran yang telah dibuat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline