Lihat ke Halaman Asli

Refleksi Ekskursi Sosial: Alunan Cinta dari Jati Margo

Diperbarui: 24 Juni 2015   12:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ekskursi. Apa yang kamu rasakan setelah mendengar kata-kata itu ? Tentu saja perasaan galau gundah gulana akan menyelimuti kita. Sama seperti live in, ekskursi adalah suatu keadaan dimana kita akan meninggalkan kenikmatan duniawi untuk sejenak. Kita diajak untuk masuk ke dalam lingkup yang sebelumnya belum pernah kita temui, apalagi jalani. Ya, disini aku dan teman-teman akan masuk ke dalam bagian “mereka”. Mereka yang tidak pernah aku kenal, bahkan tidak pernah aku jumpai sebelumnya.  Aku akan merasakan pahit, manis, asam, getir kehidupan.

Panti Asuhan Jati Margo, Boja. Sebelumnya, aku tak pernah mendengar nama salah satu panti asuhan yang akan menjadi tujuanku ini. Seketika itu juga guratan gundah menyelimuti. Bagaimana ya keadaan disana?

Namun, semua bayang-bayang “menyeramkan” sirna, ketika aku dan teman-teman menapaki Jati Margo, sebuah panti asuhan yang terletak 2 km dari Pasar Gunungpati. Aku bertemu dengan mereka, teman-teman baruku, adik-adik baruku, serta kakak-kakak baruku. Perjumpaan yang membuatku selalu bergumam dalam hati “Kok mereka bisa sebahagia ini ya? Padahal dalam kondisi seperti ini”. Hari pertama, aku sudah dikejutkan dengan berbagai tindakan mereka yang menurutku “woow” mereka sangat ramah sekali pada orang baru, dan tidak segan-segan curhat tentang apa yang mereka rasakan. Dari hal kecil ini, aku dapat mengambil poin plus, yakni mereka telah mengajarkanku tentang arti orang lain yang berada di dalam hidup kita serta aku diajak untuk selalu mensyukuri segala yang telah diberikan Tuhan kepada kita. Ya, sikap “nrimo” mereka itulah yang membuat aku merinding. Mereka tidak meminta lebih, mereka bisa membedakan mana kebutuhan dan mana keinginan. Seperti kejadian di mana kala itu makan malam, hanya ada sup kacang merah dan nasi yang sudah dingin, rasanya terlihat “baru” di mulutku dan memang asing sekali. Kemudian, aku membayangkan bila di rumah, makanan hangat dan sudah disiapkan. Sedangkan mereka harus menyiapkan segalanya sendiri. Aku tersadar. Di hari pertama saja aku sudah menemukan banyak sekali pelajaran berharga, apakah keajaiban di hari selanjutnya akan menyadarkanku dan mengubahku? Mari kita lihat.

Hari kedua. Tidak tahu mengapa Tuhan itu baik ya. Dia berusaha “menyentilku” melalui peristiwa-peristiwa di ekskursi ini. Aku ambil contoh saja begini : Saat itu aku dan teman-teman diajak untuk YOUTH (semacam misa kaum muda orang Kristen) kami disuruh kumpul jam setengah 4 sore, dan kekagumanku muncul, yaitu tidak ada satu orang pun yang molor, dan semuanya tepat waktu. Ketika aku bertanya  acara dimulai pukul berapa, aku sedikit shock, karena mulainya jam setengah 6 sore. Kemudian aku membandingkan dengan kehidupan menggerejaku, di mana untuk ikut misa mingguan saja terkadang aku malas-malasan, atau kalau rajin pun pasti datangnya mepet. Tidak seperti mereka yang selalu meluangkan waktu untuk Tuhan dengan segala macam persiapannya. Sekarang aku mengerti, bahwa dalam ekskursi ini, Tuhan bertindak atasku. Di mana Ia ingin agar aku selalu ingat dan mengandalkan Tuhan di atas segala kesempatan.

Hari ketiga. Sudah banyak pengalaman berharga yang aku dapat di Jati Margo ini, pengalaman yang mungkin tidak didapat di sekolah atau pun rumah. Jati Margo telah mengajarkanku banyak hal. Meskipun itu terlihat sepele, namun buatku itu merupakan suatu yang luar biasa. Teman-teman baru yang bisa membuatku semangat dalam menjalani hidup. Aku belajar dari mereka bahwa “Roda itu berputar”, tak selamanya kita berada di posisi atas, tapi juga ada saatnya kita berada di bawah. Lewat ekskursi ini, setidaknya aku sudah bisa menghadapi saat dimana aku berada di posisi bawah. Ya, simple saja memang, yaitu dengan cara : hadapi, tersenyum, dan taklukan.

Tak hanya itu, Jati Margo juga telah memberikanku apa arti cinta sejati, kesederhanaan, cinta kasih, ketulusan, dan peran orang tua serta Tuhan dalam hidup kita. Seringkali kita menyia-nyiakan orang tua kita, membantah nasehatnya, dan menganggap diri kita paling benar, tapi cobalah renungkan sejenak apakah orang tua kemudian benci kepada kita? Tidak! Kasih orang tua sepanjang masa, tidak seperti anak yang terkadang mengasihi orang tuanya jika ada maunya. Bandingkan dengan teman-teman kita yang tidak punya orang tua, atau bahkan sebenarnya masih punya tapi mereka sengaja dibuang. Tiga hari 2 malam yang membuatku sungguh-sungguh mengerti bahwa hidup ini keras.

Terakhir, aku belajar bahwa ada perjumpaan, ada pula perpisahan. Tapi, perpisahan bukanlah akhir dari segalanya. Justru dari perpisahan ini, kita diajarkan bagaimana melepas orang yang sudah dekat dengan kita secara ikhlas. Aku tidak menyangka, bahwa pertemuan singkat yang berakhir sangat cepat ini membekas di hati kami. Ya, karena kami mendapat hikmah dari itu semuanya itu. Terima kasih Loyola, terima kasih Jati Margo.

Bersamamu kuhabiskan waktu, senang bisa mengenal dirimu. Rasanya semua begitu sempurna, sayang untuk mengakhirinya. Tetaplah di sini, tetaplah seperti ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline