Lihat ke Halaman Asli

Live In: Melodi Kemesraan di Wates

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Live in. Apa yang kamu rasakan setelah mendengar kata-kata itu ? Tentu saja perasaan galau gundah gulana akan menyelimuti kita. Live in, adalah suatu keadaan dimana kita akan meninggalkan kenikmatan duniawi untuk sejenak. Kita diajak untuk masuk ke dalam lingkup yang sebelumnya belum pernah kita temui, apalagi tapaki. Ya, disini aku dan teman-teman akan masuk ke dalam bagian “mereka”. Akan kutekadkan niatku ini. Aku akan merasakan pahit, manis, asam, getir kehidupan. Live in aku datang !

LIVE IN SMA KOLESE LOYOLA 2011 / 2012. 14 APRIL – 18 APRIL 2012. BREAK THE BOUNDARIES !

No gadget, no novel, no handphone, no novel, dan no no lainnya. Suntuk ? Sudah pasti ! Apalagi kita harus meninggalkan keluarga selama 5 hari ke depan. Sungguh, perasaan yang tidak dapat kulukiskan. Namun, seketika aku tersadar, apakah gara-gara kejadian ini aku menjadi menyerah ? Tidak ! Aku akan melangkahkan kaki untuk menyambut Desa Wates di Parakan.

Perjalanan yang menghabiskan banyak waktu terkadang membuatku badmood, namun seketika, perasaan badmood itu terbayar ketika aku melihat pemandangan yang tidak pernah aku lihat di Semarang. Yah, keadaan di mana burung-burung bebas berkicau, pohon-pohon menggoyangkan dahannya dengan manja, dan suara gemricik sungai yang seakan-akan menyapaku.

Hari pertama memang cukup melelahkan, di mana waktu setengah hari itu sudah habis di dalam perjalanan. Setelah sampai di tempat tujuan, aku dan teman-teman berkumpul dahulu di salah satu rumah warga, udara dingin yang menusuk tulang pun menyambut dengan riang gembira, tapi untunglah keramahan warga Wates mampu menghangatkan kami. Sajian makanan kecil yang ada pun tak terelakkan untuk segera dilahap, bukan karena suka atau tidak suka, ya karena kami memang lapar berat.

Pembagian kelompok dan rumah sudah diatur. Kami pun menuju rumah keluarga baru kami. Lagi-lagi perasaan yang sama itu muncul, yah aku deg-degan. Tetapi, semakin aku melangkah, hati ini semakin mantap untuk mengikuti live in.

Mulanya, aku danLaras memang agak canggung, seperti peribahasa, tak kenal maka tak sayang. Tapi, setelah kami berbincang-bincang dan menghangatkan diri di dekat tungku, atau yang biasa disebut ngepung, suasana pun mulai mencair, kami sudah mulai bisa bercanda dan tertawa. Di rumahku yang baru tidak ada televisi, tidak ada kompor, tidak ada kasur dan tidak ada magicjar. Dan wooow, ini dia yang benar-benar live in, aku tidak boleh menyia-nyiakannya, aku harus mendapat makna di balik ini semua, haha ya itu komitmen awalku.

Hari kedua. Selamat pagi, Wates ! Terima kasih sudah menyambutku dengan kekhasanmu, yaitu hawa dingin yang menusuk hingga sumsum. Hari ini, aku diajak Bapak ke lading, tentunya kami tidak lupa mengajak Rini dan Laura, tetangga kami yang ingin pergi ke ladang juga. Selama perjalanan, kami begitu terkesima dengan apa yang kami lihat. Sungguh, ini karya-Nya yang luar biasa ! jajaran bukit dan pegunungan yang indah bak lukisan, bunga bunga yang mekar menambah suasana pagi lebih ceria, dan rasanya kami bisa menyentuh awan, ya karena kami berada di pucuk gunung.

Jalan yang berliku tak menyurutkan kami, meskipun kami selalu banyak berhenti dan mengeluh karena kecapekan, tetapi Bapak memaklumi itu semua. Setelah 30 menit kami berjalan, akhirnya kami sampai juga di ladang kol milik Bapak. Di sana kami mencabuti hama yang mengganggu tumbuhan, sambil mencabuti, Bapak bercerita, bahwa harga kol saat ini sangat turun, dan petani kol merasa dirugikan dan sangat tidak dihargai, harga satu kilogram kol hanya 3000, dan wortel perkilo hanya 500, sungguh tidak sebanding dengan keadaan di kota, di mana untung dikeruk sebanyak-banyaknya. Kemudian, aku mencoba membandingkan dengan uang sakuku, sungguh ironis. Setelah itu, kami mengambil beberapa kol untuk dimasak di rumah. Lagi-lagi perjalanan yang menanjak menjadi faktor pemicu kegulanaan hati ini, tetapi berkat Bapak kami masih bisa terus semangat dan tertawa.

Hari ketiga. Mulai kangen keluarga di rumah. Tetapi, berkat kekompakan warga Wates, aku dan teman-teman jadi lupa permasalahan kangen dan sebagainya, yang ada malah kami bergotong royong dan canda gurau bersama-sama terlibat dalam pembangunan kapel yang akan segera diresmikan nantinya kalau sudah jadi. Nggak mandang cewek atau cowok, kami semua ikut terlibat aktif. Bahkan Raras dan Esther ikut dalam pengecoran kapel, sementara itu teman-teman cewek lainnya membantu dalam urusan masak memasak dan potong memotong. Kami pun mencoba wisata kuliner sana sini, karena memang banyak makanan asing yang kami temui di sini, dan namanya pun aneh-aneh, tapi rasanya ? Beeeeh, jangan ditanya, nikmatnya luar biasa. Hari ini, rasanya sangat mengagumkan, aku jadi kenal dan dikenal banyak tetangga sekitar hehe.

Hari keempat. Helloo Wates, H-1 aku akan kembali ke Semarang. Persiapan untuk persembahan terakhir yang akan kami berikan untuk warga Wates. Bukan dengan barang yang berharga, tapi dengan suatu penampilan yang tidak akan dilupa oleh warga, dan akan selalu membekas di hati. Bersih-bersih balai desa pun kami lakukan demi mendukung acara yang akan kami selenggarakan pada malam hari nanti. Fiuh, setelah seharian bersih-bersih, kami mencoba gladi bersih. Drama selesai, done. Akhirnya, kami pulang ke rumah masing-masing untuk istirahat sejenak, supaya nanti malam bisa tampil fit.

Sampai di rumah, aku dan Rini amsih sibuk memikirkan sesuatu, bagaimana kalo acaranya ditambahi dengan lagu ? Akhirnya, kami berdua pun menciptakan sebuah lagu, yah bisa dibilang lagunya bagus dan menyentuh sih hehe.

Oke, malam segera datang. Penampilan dan persembahan terakhir kami untuk warga Wates. Drama berlangsung sangat meriah, selingan-selingan dan celotehan yang kami buat pun menambah suasana kian hangat. Tak terasa, ini adalah saat terakhir kami bersama mereka, ada perjumpaan ada pula perpisahan. Tapi, semoga kehangatan kami ini tidak berhenti di sini, dan tetap berlangsung. Kesempatan seperti ini tak akan bisa dibeli.

Bersamamu kuhabiskan waktu, senang bisa mengenal dirimu. Rasanya semua begitu sempurna, sayang untuk mengakhirinya. Tetaplah di sini, tetaplah seperti ini.

Hari kelima. Sudah saatnya aku pamit kepada warga. Terima kasih Wates, karena engkau telah mengajarkanku banyak sekali makna kehidupan. Terima kasih pula warga Wates yang selalu memberi kehangatan dan sajian tempe kemul, tak lupa secangkir teh hangat. Ini saatnya aku mewujudkan komitmenku. Tidak akan kulupa engkau, dimana di Wates aku berkembang menjadi suatu individu yang tidak pernah aku kira sebelumnya.

Selamat tinggal Wates sampai kita jumpa lagi, aku pergi, takkan lama, hanya sekejap saja ku akan kembali lagi, asalkan kau tetap menanti.

ALUISIA PRITA PARAHITA

XC / 2

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline