Tangan keriput itu meraih gelas berisi kopi hitam dingin yang dibuatnya semalam, lalu menyeruputnya hingga tersisa ampasnya saja sembari menatap ke atas langit dari jendela kamarnya.
Mata kirinya sedikit memicing sebagai bentuk proses adaptasi netranya menerima cahaya yang masuk. Sinar matahari yang mulai naik sepenggalah itu kemudian menyalurkan rasa hangat ke wajah tuanya. Namun tidak dengan hatinya. Hatinya dingin. Bahkan mungkin sekerat daging itu telah lama membeku.
Dulu rumah peninggalan orang tuanya ini pernah begitu hidup. Selalu ramai dengan ungkapan kasih kedua orang tuanya dan riuh celoteh keenam adik-adiknya. Kini rumah itu seakan mati. Hanya tersisa ia seorang diri tinggal di rumah itu.
Tanpa teman. Seakan dunia membuangnya. Seharusnya di usianya yang memasuki 60 tahun, ia sedang menikmati masa tua bersama istri dan anak-anaknya. Namun hidup tidak selalu sesuai harapan kita.
Ada Dzat yang Maha pengatur segalanya. Semua tunduk pada segala ketetapan-Nya tanpa punya kuasa untuk mengubahnya. Nyata bahwa hukum tabur tuai itu benar adanya. Bahkan hal ini termaktub dalam salah satu surat Al Qur'an yaitu Ar Rahman ayat 60, {Tidak ada balasan bagi kebaikan kecuali kebaikan pula}. Pun berlaku sebaliknya.
"Bowo, wes mangan koe?" ("Bowo, kamu sudah makan belum?") Sapa seorang lelaki yang tampak lebih tua darinya dengan membawa keresek hitam di tangan kanannya sementara tangan kirinya menutup hidung karena tak tahan dengan bau pesing di sekitar halaman depan rumah tersebut.
"Hurung, lek." ("Belum, om.") Jawabnya lemah.
"Iki enek panganan seko bulekmu. Dipangan yo. Yowess, aku tak teros yo." ("Ini ada makanan dari bibimu. Dimakan ya. Yaudah, saya langsung pulang ya.")
"Iyo, makasih lek." ("Iya, terima kasih om.")
Keresek hitam telah berpindah dengan sangat cepat ke tangan kurus itu lewat jendela sedangkan sang pemberi sudah buru-buru pergi seolah enggan untuk tinggal beberapa detik lagi.
***