Senja sore ini mencipta siluet sendu
Hujan telah sempurna mengulang kisah lalu
Tanpa permisi membuncahkan isi memori otak
Namun tubuh kuyup itu masih tak bergeming
Kakinya terpaku
Hatinya menghangat
Lukanya menggeliat nyata
Netranya nanar menatap barisan gedung tinggi ibu kota
Bukankah angin berbisik lebih mesra ketika hujan mendesis?
Seolah membawa angan berkontemplasi ke masa lalu
Melempar jauh harap pada kisah yang tak mampu diulang
Entah tentang rasa yang pernah terasa begitu manis
Atau tentang rasa yang pernah terasa begitu getir
Langit pun kian pekat meracau kalbu
Berkali memaksa diri mengecap pilu
Membekukan ramainya alur hidup bagai tanpa gerak
Pendar lampu jalan bahkan tak lagi mampu menguning
Jiwanya layu
Arinya mengerut
Fisiknya semakin tak kuasa
Langkahnya terseok mencari penyangga
Mengapa riuhnya Jakarta seakan berubah setandus gurun?
Tubuh ringkihnya hampir menggigil kaku
Mengabaikan suara ramai di sekeliling menyisakan dengung
Tak ayal mengundang untaian kata sinis
Atau hanya sekedar alasan untuk pergi menyingkir
Ah, tak apalah dengan sketsa hati itu
Toh hanya wujud rasa manusiawi
Takdirnya ke depan pun masih samar
Tak berbentuk
Hanya keyakinan serta doa yang kelak menjaganya
Oleh: RIZKI IKA YUNI P
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H