Lihat ke Halaman Asli

Astaga, Apa Kata Nietzsche Nanti?

Diperbarui: 15 April 2016   19:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kisah Ajaib Saya dengan Membaca

[caption caption="Ilustrasi dari geekdad.com"][/caption]"Kalau dipikir-pikir, pengetahuan saya tentang buku itu lumayan ya.” Tadi malam gagasan itu terlintas di benak saya. Saya sedang merenung sehabis miris tentang minat baca orang Indonesia yang menduduki peringkat 60 dari 61 negara. Apa sebenarnya yang salah dari hal ini? Apakah karena tidak ada buku yang bagus? Harga buku yang mahal? Atau memang karena orang Indonesia tidak terdidik saja untuk membaca?

Saya lahir dari keluarga yang menganggap buku sebagai kemewahan. Ibu saya tidak pernah membelikan buku, dan dia buta huruf bahasa Indonesia. Saya baru mengenal buku kelas 2 SD ketika anak-anak kos di sebelah rumah membaca Kho Ping Ho. Dari dia, saya mulai membaca buku-buku silat. Selama SD sampai SMA, petualangan membaca saya berlanjut ke novel-novel Abdullah Harahap, Freddy S., Motinggo Busye, Mira W., Marga T., Sidney Sheldon, dst. Tidak hanya novel dewasa, juga buku-buku Lima Sekawan, Tintin, dst. Saya tidak suka komik karena teksnya sedikit.

Pada saat SMA/kuliah, saya baru mengenal buku-buku sastra dan buku-buku di luar novel. Saya berkenalan dengan buku-buku Carl Sagan Nawal El-Saadawi, Boris Pasternak, Ernest Hemingway, John Steinbeck, Pearl S, Buck, dll. Namun, buku terfavorit saya semasa SMA adalah ‘Gone With the Wind’, yang selalu saya anjurkan untuk dibaca oleh setiap (calon) penulis. Sewaktu kuliah, buku-buku saya lebih ‘parah’ lagi, saya tergila-gila pada buku-buku filsafat Foucault, Proust, Nietzsche, tidak ketinggalan buku-buku Richard Dawkins dan Stephen Hawking. Buku favorit saya kala itu adalah ‘Catcher in the Rye’-nya JD. Salinger. Saya merasa perlu melakukan pencarian terhadap pengetahuan melalui buku. Ada rasa lapar yang tak hentinya menguasai diri saya untuk terus mencari dalam lembaran-lembaran buku.

Saya merasa cerdas banget dan berpengetahuan tinggi tentang buku selulus kuliah. Sampai saya dihadapkan pada satu pertanyaan pada wawancara kerja sebagai editor, yang masih saya ingat sampai sekarang. “Kamu pernah baca novel-novel Harlequin?”

Hah? Novel apa itu? pikir saya. Novel-novel picisan itu ternyata yang harus saya tangani saat menjadi editor. Astaga, apa kata Nietzsche nanti?

Tapi pertanyaan itu membuat saya tersadar bahwa saya masih tidak ada apa-apanya. Bahkan jika saya punya waktu 1000 tahun pun, saya tidak akan pernah bisa membaca seluruh buku yang ada di dunia ini.

Setelah bekerja (ya, saya diterima di perusahaan yang mewawancari saya itu), saya punya akses dan kesempatan membaca lebih banyak lagi. Sebelumnya, akses saya terbatas hanya di perpustakaan, dan berdiri berjam-jam di toko buku karena nggak sanggup beli. Saya mengenal novel-novel romance yang katanya picisan itu, dan mengagumi betapa hebatnya kemampuan si penulis mengaduk emosi pembacanya. Saya mengenal novel-novel thriller, mengenal buku-buku fantasi. Bahagia ketika membaca ‘Harry Potter’ pertama kali di usia 29 tahun. Membaca, bagi saya, adalah memasuki dunia magis. Membaca tidak mengenal usia dan dia tidak mau tahu latar belakang diri kita. Selama kita mau membuka pikiran ketika memasuki halaman pertama, keajaiban pun dimulai.

Seiring bertambahnya usia, saya malah jatuh cinta pada novel-novel YA. Pada ‘Twilight’, ‘The Hunger Games’, novel-novel John Green, David Levithan, Colleen Hoover, dst. Dari ‘The Hunger Games’ saya menjelajah ke dunia dystopia, mundur lagi menjelajah waktu membaca George Orwell, juga novel-novel klasik H.G. Wells, berlanjut terus hingga ke Edgar Allan Poe, Kipling, dan terus, terus, dan terus… hingga menembus dunia fiksi ilmiah menuju ‘Ready Player One’, dan kini saya berkenalan dengan buku-buku Philip K. Dick dan Arthur C. Clarke. Saya tidak bisa berhenti membaca dan makin gelisah…

Anak-anak era milenial memiliki akses internet tidak terbatas. Toko-toko buku yang “mendunia” tapi bacaannya malah terperangkap baca membaca “status” media sosial, tulisan-tulisan teman yang galau di blog atau fiksi-fiksi yang dibuat berdasarkan “perasaan” di situs-situs penulis. Di mana waktu mereka membaca buku-buku itu? Saya tidak anti novel romance, lha wong, saya editornya Ilana Tan kok. Bagi saya novelnya mengoyak perasaan banget. Tapi saya juga tidak bisa berhenti melakukan pencarian, misalnya sehabis membaca ‘In a Blue Moon’, saya menjelajah ke Broadway. Saya mencari tahu tentang ‘Les Miserables’, membaca lagi ‘Fun Home’-nya Alison Bechdel, mengenal ‘The Book of Mormon’ yang tema utamanya ternyata bukan tentang buku.

Mengutip James Gleick dalam bukunya, ‘The Information: A History, a Theory, a Flood’, “Saat informasi murah, perhatian menjadi mahal.” Inilah yang terjadi pada minat baca kita. Informasi berlimpah di internet membuat kita kewalahan, membuat kita terlalu sibuk meluangkan waktu untuk mencari, karena segalanya sudah ada di depan jempol kita. Membaca membutuhkan usaha, apalagi membaca dengan pikiran terbuka dan merangsang logika. Itu butuh usaha dan waktu. Dan tidak banyak orang yang mau melakukannya di tengah hiruk-pikuk twitwar, perang status, dan tulisan-tulisan galau.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline