angin telah menerpakan gigil pada cermin mengembun
wajahmu tak sejelas waktu yang telah bergegas
hanya hati yang terpampang sungsang
entah dimana suara-suara bertukar kata
akulah yang disini
mengunjungi sisimu yang bergaris sepi
saat kau lupakan kultur-kultur bisu
tengah berloncatan rindu dari mulutmu
bisakah malam kau letakkan lagi
pada bingkai jendela kamarmu
rindu-rindu yang terpasung
dan gelora-gelora yang entah dimana
di lampu gantung wajahmu bercahaya mendung
atap retak plafonnya dihujani hatimu yang sembunyi
sementara aku meringkuk kikuk tanpa nyali
saat kau pagari diri dengan mantra-mantra tak tersentuh
lagi-lagi
rindu menjadi-jadi
jadi selokan yang mengalirkan air kencing bersama air sumur yang berlumut
lalu waktu menjelmakannya saluran irigasi sawah untukmu yang subur
namun tanpa suara kau diam terlanjur terbujur
kenyamanan jaman di kotak-kotak kemewahan
acuh juga buat apa peduli
guru kencing berdiri
detik-detik semakin kencang berlari pergi
2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H