Lihat ke Halaman Asli

Hesty Aisyah

still learn and learn

Andai Kotaku Jadi Ibukota dan Kotamu Jadi Biasa

Diperbarui: 21 Agustus 2019   22:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Wacana pemerintah tentang pemindahan ibukota sudah pasti menimbukan pro dan kontra. Sebagian besar dari mereka yang pro akan wacana ini mungkin hanya melihat dari sudut pandang sebagai orang ketiga saja alias hanya menilai secara objektif karena bukan mereka yang merasakan langsung perubahan status kenegaraan tersebut.

Sudah berpuluh-puluh tahun sejak ditetapkannya Jakarta sebagai Ibukota, hampir sebagian besar pembangunan perekonomian berpusat disana. Saking besar pengaruhnya, banyak yang mengatakan bahwa semua bisa ditemukan di Jakarta. Seperti makanan contohnya, seluruh jenis makanan di seluruh nusantara semua ada di Jakarta, pun dengan makanan-makanan internasional. Perindustrian dari seluruh sektor juga meramaikan Jakarta. Semua ketersediaan tersebut melahirkan ketertarikan bagi warga urban untuk mencari keberkahannya sendiri di ibukota Indonesia tersebut.

Seiring dengan banyaknya pendatang yang menetap di Jakarta, investor pun mulai mengincar peluang. Peluang untuk mendapatkan pundi kekayaan mereka karena sifat konsumtif penduduk Indonesia. Pusat perbelanjaan banyak didirikan dan menjual banyak barang impor, Pusat Perindustrian semakin aktif menjalankan kegiatan bisnis karena tingginya permintaan, dan kemudian angka biaya hidup pun lama-lama mulai ikut meningkat.

Coba bandingkan berapa rata-rata biaya hidup rumah tangga di Jakarta dengan perkotaan yang bukan ibukota. Semua efek inflasi bisa langsung mempengaruhi perekonomian Ibukota karena disitulah pusat seluruh kegiatan. Dimulai dengan meningkatnya harga bahan bakar, lalu mempengaruhi bahan pangan, sampai bermuara pada peningkatan harga barang dan layanan jasa.

Sudah siapkan kota kecil yang asri itu mengalaminya?

Segala sesuatunya pasti ada sisi plus dan minus, sebagai manusia yang diberi anugrah kemampuan berfikir, tugas kita selanjutnya adalah menimbang manakah yang paling dominan dari kedua sisi tadi. Semua persepsi dari seluruh sudut pandang peran utama wajib hukumnya dipertimbangkan, karena mereka lah yang nanti akan dipengaruhi secara langsung oleh kebijakan ini.

Sudahkah pemerintah mensurvey dan menelaah keseluruhan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kebijakan ini dengan seksama, menemukan gambaran pasti lingkungan eksternal dan internal, lalu diterjemahkan kedalam  metode SWOT yang darinya bisa ditemukan apa kekuatan, kelemahan, pelung, dan ancaman dari kebijakan pemindahan ini. 

Semua harus terkakulasi dengan baik karena sejatinya pemindahan inukota bukanlah hal yang mudah sekali semudah mengucap janji-janji ketika kampanye pemilihan pimpinan. Kalaupun sudah dilakukan, coba tinjau lagi apakah semua aspek terlibat, atau wacana ini jangan-jangan hanya keputusan satu mulut saja. 

Kepentingan rakyat harus dinomorsatukan, kenyamanan rakyat harus diutamakan, terlepas dari apa apa kelebihan dari wacana ini, kalau masyarakat setempat merasa terancam atau merasa tidak tenang, apakah wacana ini layak diimplementasikan?

Sudah dari jaman bangku sekolah dasar, semua tahu bahwa Pulau Borneo adalah paru-parunya dunia. Meskipun kita juga tidak bisa mengelak dari angka penebangan hutan liar yang juga semakinmarak, tapi jika itu ditambah dengan pembangunan untuk lahan ibukota, apakah itu tidak akan semakin membuat parah?

Yang pasti ada pembangunan, akan ada polusi, pencemaran, pengurangan lahan alam, dan sebagainya. Apakah itu sepadan dengan nilai plus dari wacana pemindahan?

Semoga pemerintah sudah memikirkan ini sebelum saya menyadari pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari pikiran saya ini. Wallahu'alam.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline