Kabut masih sangat tebal ketika saya dan beberapa teman tiba di Parangtritis. Dingin AC kendaraan serasa membekukan aliran darah. Begitu keluar dari kendaraan, dingin yang berbeda menyergap tanpa menenggang rasa. Waktu itu menjelang pagi, 03.05 WIB. Sambil menggigil, saya melangkah ke sebuah tempat penginapan yang memang telah dipesan sebelumnya. Sekedar untuk beristirahat melepas penat sambil menunggu matahari beranjak meninggi di cakrawala.
Jogjakarta lagi. Tidak pernah bosan dan sepertinya memang tidak akan pernah bosan. Selalu menarik. Selalu membersitkan aneka macam rasa dalam jiwa. Rindu, sudah pasti. Rindu yang menuntut pemenuhan untuk kembali.
Berbaring di atas bed yang dibungkus sprei warna khaki, berbagai kenangan tentang kota ini melintas-lintas bersliweran. Ratusan kenangan atau bahkan mungkin ribuan kenangan. Tahun sembilan puluhan, kurang lebih tigapuluh tahun yang lalu pada waktu saya masih seorang mahasiswa.
Jogjakarta adalah kota impian saya untuk melanjutkan studi. Pertama kali menginjakkan kaki di bumi Jogjakarta, pada saat usia saya masih usia sekolah dasar, hati saya telah terpaut pada kota ini. Waktu itu ada seorang famili yang punya gawe di kota Magelang. Kereta api yang kami naiki berhenti di stasiun Jogjakarta.
Jam besar di stasiun Jogja, orang-orang bersepeda, becak dan pejalan kaki serta dokar dan kuda yang dilengkapi wadah kotoran agar tak mengganggu kebersihan dan keindahan kota adalah raut wajah Jogjakarta yang pertama kali saya kenali.
Rasa nyaman yang menyelinap perlahan membuat saya bermimpi untuk bisa kembali ke kota ini. Rupanya keberuntungan dan restu semesta menaungi saya karena bertahun kemudian saya menjadi seorang mahasiswa di sebuah lembaga pendidikan tinggi negeri di kota ini. Jogjakarta benar-benar berhati nyaman.
Kabut masih tebal ketika saya dan beberapa teman turun ke pantai. Jarak pandang menjadi terbatas hanya beberapa meter ke depan. Namun tekad kami tidak menyurut. Pantai masih lengang. Mungkin karena masih pagi dan hari itu bukan hari libur. Gemuruh ombak yang khas membangkitkan ilusi yang mungkin berbeda dalam diri kami masing-masing. Parangtritis.
Payung-payung sewarna pelangi dikembangkan untuk tempat berlindung yang berbayar. Berderet semarak. Dahulu pada tahun sembilanpuluhan, payung-payung pelindung tak sebanyak itu.
Hal kekinian yang tak pernah saya lewatkan pada tahun-tahun belakangan ini ketika kembali ke Parangtritis adalah siomay hangat. Pagi berkabut, debur ombak, deru ATV dan motor trail sewaan serta siomay hangat! Waoow banget. Anda pasti akan merindukannya juga jika telah mencicipi semua unsur kenangan semempesona ini.