Pasca reformasi, kita seperti kebanjiran informasi yang berasal dari segala arah. Di bidang agama kita menerima banyak sekali konten berisi ajaran agama, seperti air bah. Negara yang awalnya begitu peduli dengan keberagaman sedikit demi sedikit bergeser.
Wali Songo yang dikenal sebagai penyebar tyangguh untuk wilayah Jawa karena bergitu dekat dengan budaya lokal sewaktu menyebarkan Islam, ceritanya semakin tenggelam dengan berbagai semangat hijrah buta yang menghilangkan konteks ajaran itu sendiri. Padahal dengan cara ala Wali Songo, Islam menyebar luas dengan damai, dan diterima banyak pihak. Cara menyebarkan ajaran amat memikat tanpa mau berkonfrontasi dengan budaya lokal.
Namun dalam dua dekade ini hal itu bergeser. Ajaran yang semula mengedepankan konteks, kini tidak lagi bergitu. Ada pendangkalan tafsir dalam dakwah yang membanjiri ruang informasi di sekitar kita. Faham transnasional ini sering menyebabkan pendangkalan tafsir dengan mengabaikan substansi dan kontekstualisasi keagamaan.
Faham transnasional sering hanya mengedepankan teks dan mengabaikan substasi dan konteksajaran keagamaan semakin sering terdengar pada dakwah-dakwah di berbagai tempat, baik secara offline maupun online. Mungkin kita hafal beberapa nama ulama yang sering berdakwah dengan mengedepankan teks tanpa konteks. Secara tidak langsung mereka mentransfer ajaran itu kepada orang-orang yang pemahaman agamanya belum mumpuni, sehingga banyak yang terpengaruh dan akhirnya ada hijrah palsu atau jihad palsu. Seperti hijrah tapi sejatinya bukan hijrah. Seperti jihad tapi sejatinya bukan jiad.
Mereka terpenjara dengan ajaran yang rijid dengan teks, dogma dan simbolisme keagamaan. Dalam nalar bayani, sebuah pemahaman yang sangat tekstual ketika teks menjadi rujukan paling ideal.
Menurut pandangan al-Jabiri pemikir kontemporer dari Maroko, konsekwensi atau dampak dari pemahaman dengan menonjolkan tekstual seperti ini akan membawa para pengikutnya menjadi pribadi beragama yang eksklusif. Dan mudah mengkafirkan orang lain (takfiri) sehingga tidak mempunyai kemampuan untuk menerima yang lain (the other), dan segala hal yang baru (al-far). Pendangkalan agama semacan inilah yang menjadi akar dari terorisme.
Hal inilah yang layak diwaspadai. Bagaimanapun negara kita adalah negara dengan keberagaman yang kompleks. Sehingga pemahaman dengan akar atau budaya lokal harus diperhitungkan. Bagaimana Islam di Nusantara menjadi negara terbanyak umat islamnya jika dahulu wali songo menyebarkan islam dengan mengedepankan tekstual dan bukan kontekstual ?
Marilah kita menyelaraskan ajaran agama dengan budaya maupun kebangsaan kita tanpa mengurangi hakikat ajaran agama itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H