Selama beberapa minggu ini di media sosial twitter, kita disuguhi cuitan seorang dokter Wanita yang meragukan soal keaslian ijazah Presiden Republik Indonesia, Bapak Joko Widodo.
Cuitan itu dilakukan selama beberapa waktu dengan menyertakan ijazah Bapak Joko Wiodo dan foto wisudanya. Dia juga menyertakan foto-foto pembanding yang berisi ijazah jurusan lain.
Dalam rangkaian cuitannya, dia menyertakan beberapa komentar yang meragukan penomeran ijazah.
Dia juga mempertanyakan wajah dan kacamata milik presiden Joko Widodo yang dirasa aneh, karena saat ini Presiden Joko Widodo tidak memakai kacamata sedangkan foto di ijazah itu adalah berkacamata.
Saya tidak pada kompetensi apakah cuitan ini benar atau salah.
Sangat sulit bagi seorang pejabat sekelas presiden dua periode yang punya salah satu Menteri yang merupakan rector tempatnya berkuliah, lalu dia juga pernah menjabat sebagai gubenur dua tahun dan walikota selama dua periode, ternyata berijazah palsu.
Sehingga saya menangkap perasaan ketidaksukaan bahkan kebencian pada cuitan itu. Bayangkan dia mencuit hal seperti itu pada saat masih Orde Baru yang dipimpin oleh rezim X, kitab isa memperkirakan apa yang terjadi pada dokter itu.
Cuitan-cuitan dengan tone kebencian seperti ini seringkali berlindung dibalik demokrasi. Demokrasi yang dibuka secara terang bendarang saat reformasi dan meliputi berbagai bidang kehidupan termasuk informasi.
Hanya saja kebebasan berpendapat ini dilakukan secara salah dengan seringnya menyebarkan informasi tanpa mencari lebih dulu kebenarannya alias menyebarkan hoax.
Media sosial mempermudah hal ini karena sangat mudah bagi jempol untuk meretweet cuitan itu (twitter). Platform media sosial lain seperti facebook, atau Instagram bahkan medsos semi privat seperti WA dan Telegram terjadi hal seperti itu juga.