Lihat ke Halaman Asli

Politik Identitas dan Kebangsaan Kita

Diperbarui: 16 Juni 2022   20:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

geotimes

Para sejahrawan Indonesia sering membagi masa historis bangsa Indonesia. Pertama mungkin masa pra Kemerdekaan, kedua Kemerdekaan, dan ketiga Pasca Kemerdekaan. Pasca Kemerdekaan biasanya dibagi lagi menjadi Orde Lama, Orde Baru dan Masa Reformasi. Masing-masing masa itu punya catatan tersendiri.

Kali ini saya ingin menyoroti masa Orde Baru dan masa Reformasi saja, dan kaitannya dengan politik dan ideologi.

Orde Baru dicatat oleh banyak orang (dan banyak negara) sebagai masa dimana kekuasaan otoritarianisme sangat kuat mencengkeram. Masa ini dikenal sebagai masa yang sangat represif, dimana kebebasan bersuaran nyaris tidak pernah ada atau paling tidak diatur. Bagi yang 'sulit atau tak mau diatur' maka yang terjadi adalah malapetaka.

Dengan kondisi seperti ini, maka banyak hal terjadi "dibawah tanah" alias sembunyi-sembunyi. Ini termasuk juga ideologi alternatif dan politik alternatif. Kita tahu Hizbut Tahrir (HTI) yang sekarang dilarang, masuk ke Indonesia pada masa ini namun beroperasi dengan sembunyi-sembunyi. Meski sembunyi-sembunyi mereka terus bergerak.

Lalu Orde Baru runtuh dan kemudian masa Reformasi hadir di Indonesia. Masa Reformasi memang membuat banyak hal berubah diantaranya kebebasan berpendapat dan berekspresi. Seperti air yang sebelumnya tersumbat, kini bisa mengalir dengan lancar dan tanpa hambatan. Saat itu pemimpin negara yang memimpin Indonesia pada awal-awal masa itu belum memberikan warna yang menonjol sehingga bisa dikatakan terjadi kekosongan ideologi yang penuh ketidakpastian.

Saat itu juga ideologi transnasional yang banyak diwakili kaum konservatisme Islam termasuk HTI berani menunjukkan diri. Mereka segera menunjukkan bahwa mereka sudah banyak mempengaruhi sektor pendidikan, beberapa kelompok sosial dan masayarakat, dan konyolnya juga sudah mencengkeram banyak pihak di kalangan birokrat.

Tak banyak pihak yang berani dengan terang terangan menentang atau melawan ideologi ini karena banyak hal masuk dan mempengaruhi bangsa atas nama demokrasi. Saat itu kran untuk kebebasan media juga dibuka tanpa hambatan. Begitu juga teknologi informasi termasuk informasi via media sosial yang melimpah tanpa henti. Sehingga ideologi transnasional yang cenderung radikal menjadi tak terbendung.

Ideologi transnasional ini kemudian bertransformasi menjadi politik identitas yang berbasis agama yang menjadi alat untuk menyingkirkan kelompok-kelompok yang berbeda. Karena itu situasi seperti Islam dengan aliran tertentu terusir dari tanahnya sendiri, atau perbedaan antara agama dan etnis sangat tajam dan politik memperkeruhnya.

Melihat kenyataan yang menyedihkan ini seharusnya kita tidak boleh diam. Politik identitas yang banyak mempengaruhi banyak hal kini harus diminimalisir. Pancasila sebagai kerangka pikir kebangsaan harusnya diingat oleh semua pihak (bukan saja kaum sejahrawan) sebagai dasar bagi semua ideologi bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline