Saat ini tidak ada bidang yang benar-benar bisa terlepas dari radikalisme. Mulai dari birokrasi, kita ingat DDW, seorang Direktur Pelayanan Satu Pintu di Badan Pengusahaan untuk kawasan Batam. Ada juga keluarga kecil yang cukup sejahtera asal Padang dan bertempat tinggal di Depok sampai pada beberapa mahasiswa dan pelajar yang hanya dengan bekal seadanya mereka nekad pergi ke Syria dan bergabung dengan Islamic State in Iraq and Syria (ISIS).
Sampai sekarang jumlah wara negara Indonesia yang bergabung dan berangkat ke Syria dan Iraq karena radikal sekitar 671 orang sebagian besar laki-laki. Dari jumlah itu sebagian besar adalah pemuda dari kelompok usia produktif, sebagian kecil masih anak-anak.
Meski jumlahnya tidak signifikan dibanding dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 250 juta, namun fenomena ini cukup mencengangkan karena dari tahun ketahun jumlah itu punya kecenderungan meningkat. Hal yang paling mengkhawatirkan dari fenomena ini adalah begitu masifnya serangan radikalisme kepada sebagian masyarakat.
Serangan itu tidak terjadi secara fisik namun berpengaruh pada pola pikir, informasi dengan masuk melalui propaganda dan doktrinisasi. Caranya mulai buku, majalahbuletin, dan yang paling massif adalah melalui internet yaitu media sosial. Bahkan ada satu cara yang kini trend yaitu disain penyebarannya dengan pola kehidupan kampus untuk mendapat bibit-bibit baru radikalisme.
Menurut Khaled Abou alFadl (2005) akar masalah radikalisme adalah puritanisme, yaitu yaitu kecenderungan pemahaman yang tertutup dan mencerminkan karakter yang absolutis serta tidak mau berkompromi dengan pemikiran atau tafsir lain. Artinya bersifat rijid. Ia juga mengabaikan kontekstualitas dan bersikap anti lokalitas sehingga pembawa paham demikian selalu memaksakan kebenaran tunggal baik terhadap tafsir keagamaan maupun terhadap sistem sosial dan politik atau pemerintahan.
Masuknya radikalisme ke kampus-kampus dan sekolah-sekolah punya potensi menjadi ancaman baru bagi keutuhan NKRI. Penangannya harus lebih fokus dan bersungguh-sungguh, terutama di ranah pendidikan yang bertugas menyiapkan masa depan.
Fungsi pendidikan sangat penting dalam membangun cara pandang generasi muda calon pemimpin bangsa dan masyarakat dalam suatu negara. Lembaga pendidikan juga merupakan agen transfer kesadaran dan ilmu pengetahuan. Maka sangat penting diperhatikan subyek yang melakukan transfer kesadaran dan ilmu pengetahuan tersebut.
Subyek yang dimaksud di sini adalah guru. Didukung oleh koridor penting lainnya yaitu kurikulum. Menyambut hai jadi hari Guru di tgl 25 November ini, Guru dan kurikulum harus sigap menyiapkan diri terhadap kecenderungan masuknya unsur-unsur pandangan radikal ke dalam keseluruhan tubuh masyarakat dan negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H