Lihat ke Halaman Asli

Memahami Warna-warni Negeriku, Negeri Kita Bersama

Diperbarui: 1 Februari 2016   13:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="www.blog.kedaikampus.com"][/caption]Sudah tidak bisa dibantah lagi, bahwa Indonesia, negeri kita ini merupakan negeri yang sangat luas. Beraneka ragam agama, bahasa, kebudayaan, suku, ras, semuanya ada di Indonesia. Bukan hal yang berlebihan, jika Indonesia disebut sebagai negara multikultur. Lihat saja. Menurut data Badan Pusat Statistik, setidaknya terdapat 1.028 etnik, 746 bahasa lokal. Dan setiap suku ini, tentu mempunyai kekayaan pemikiran, sikap dan perilaku, sesuai dengan kebudayaannya. Dan asal tahu saja, keanekaragaman ini, bukanlah keinginan manusia. Namun, pemberian atau takdir dari Tuhan. Karena itulah, kita jaga pemberian ini sebagaimana kita menjaga anak cucu kita.

Begitu luasnya geografis negeri ini, dan begitu kayanya negeri ini, membuat para pendiri negeri, menamainya negara kesatuan. Bukan negara individu ataupun bukan negara kelompok. Ya…negara kesatuan republik Indonesia. Bisa jadi, penindasan selama 350 tahun yang dirasakan negeri ini, membuat masyarakatnya mempersatukan berbagai macam suku, budaya, bahasa ini menjadi satu kesatuan. Yaitu Indonesia.

Itulah sekilas yang saya pahami mengenai makna multikultur negeri kita ini. Jika Anda mempunyai waktu, luangkan untuk pergi ke pedalaman Kalimantan, pedalaman Papua, atau pedalaman Sumatera, pasti Anda akan begitu takjub dengan kekayaan negeri ini. Berbagai nilia-nilai luhur, yang diajarkan para nenek moyang kita masih terjaga. Masyarakat lokal masih menjaga alamnya, agar tidak rusak. Mereka masih mempertahankan tradisi, sebagai bentuk penghormatan kepada para pendahulu.

Nah..mari kita lihat, beberapa kilometer dari pedalaman itu. Di beberapa kota besar, mulai banyak informasi yang masuk. Mulai banyak budaya baru yang masuk. Saat ini, generasi kita sedang dilanda demam Korea. Segala sesuatu yang berbau Korea diimplementasikan ke dalam keseharian. Berbagai macam mode pakaian, model rambut, dan gaya hidupnya ada. Bisa jadi, tren ini tak akan lama, digantikan dengan budaya Jepang, Afrika, ataupun negara lain.

Disisi lain, kain batik asal Indonesia, sudah diakui sebagai warisan negeri, yang diakui dunia internasional. Berbagai fashion mulai mengaplikasikan batik, ke dalam beberapa model pakaian. Pakaian-pakaian adat suku-suku kita, juga banyak diakui dunia internasional. Bahkan, banyak masyarakat internasional keluar masuk ke Indonesia, hanya untuk mempelajari budayanya. Tidak hanya dari pakaian, tapi juga gamelan, budi pekerti, hingga bahasa.

Apa yang terjadi, jika tren Korea tadi, digantikan dengan tren dari ribuan etnik di negeri ini. Ingat, setidaknya ada sekitar 1.028 etnik, dengan berbagai macam budaya yang melekat. Tentu saja, nilai-nilai luhur para nenek moyang kita akan terus terjaga. Bayangkan, jika gotong royong dan kejujuran yang menjadi dasar para nenek moyang membangun negeri ini masih terjaga, tentu generasi kita akan menjauhi yang namanya kekerasan. Tidak ada teror bom bunuh diri, tidak ada begal-begalan, ataupun tidak ada saling membenci. Bahkan, suku di Papua, yang masih primitif pun, mengenal tradisi bakar batu, sebagai bentuk perdamaian setelah terjadinya perbedaan pendapat.

Di DPR, yang mengenal musyawarah untuk mufakat pun, terkadang masih saling pukul-pukulan. Ironisnya, masih saja ada kelompok yang suka mengkafirkan orang lain, karen berbeda paham. Masih saja ada kelompok lain, yang melegalkan kekerasan demi menegakkan jihad. Kelompok inilah yang disebut kelompok radikal, yang dalam perkembangannya menjadi kelompok teroris. Bagaimana para politisi dan kelompok radikal tadi memaknai nilai-nilai luhur? Bukankah menghargai perbedaan itu lebih indah? Bhineka Tunggal Ika.

Ayo…karena kita tinggal di Indonesia, mari kita memaknai peninggalahan leluhur yang multi kultur ini sebagai anugerah. Mari kita cari titik temunya, untuk kita implementasikan dalam keseharian. Jika satu orang, dua orang, melakukan hal ini, tidak menutup kemungkinan akan menyebar jadi 10 orang, 100 orang, atau bahkan bisa mengalahkan tren Korea tadi. Semoga ini bisa jadi renungan bersama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline