Lihat ke Halaman Asli

Beda, Ini Bukan Pembungkaman Media Islam

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1428230947116624263

[caption id="attachment_359242" align="aligncenter" width="530" caption="viva.id"][/caption]

Pemblokiran 19 situs bermuatan radikal oleh Kemenkominfo dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menjadi isu sensitif karena situs-situs tersebut menggunakan nama Islam. Tak heran jika kemudian pemblokiran ini dianggap sebagai sikap anti-Islam. Tapi apakah benar seperti itu?

Dari banyak berita yang ditayangkan oleh media massa, sempat disebut bahwa umumnya situs-situs yang diblokir tersebut tidak memiliki badan legal yang jelas, sehingga kurang tepat jika kasus ini disebut sebagai penyensoran.

Blokir dan sensor adalah dua hal yang berbeda. Blokir adalah kebijakan penutupan akses kunjungan secara keseluruhan pada suatu situs. Sedangkan sensor adalah penutupan akses secara spesifik pada konten yang dianggap spam, namun tidak menutup akses kunjungan ke situs terkait. Selain itu, sensor juga biasanya dijatuhkan pada situs-situs yang berbasis perusahaan atau lembaga peta yang legal. Adapun blokir ditetapkan oleh pihak berwenang secara sepihak berdasarkan laporan dan tinjauan mengenai hal-hal yang menyalahi hukum yang dimuat oleh situs terkait.

Pemblokiran 19 situs Islam bermuatan radikal dilakukan tanpa proses peradilan karena situs-situs tersebut tidak punya pengelola atau alamat jelas. Tidak adanya individu penanggung jawab dan alamat fisik menyebabkan proses peradilan dengan menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tidak dapat dilakukan. Peraturan Menkominfo Nomor 19/2014 juga merupakan turunan UU ITE. Jika menggunakan UU ITE, yang dikenai sanksi adalah individu, di mana dalam hal ini adalah pendiri atau pimpinan situs terkait.

Pemblokiran sendiri adalah upaya antisipasi pemerintah terhadap bahaya konten negatif. Menteri Kominfo memblokir 19 situs itu dengan mengacu pada Peraturan Menteri Kominfo Nomor 19 Tahun 2014. Pemerintah tidak bisa menggunakan Undang-Undang Pers karena situs-situs terkait tidak memiliki dewan redaksi valid dan badan hukum perusahaan pers. Status situs yang diblokir berbeda dengan media massa yang berbasis perusahaan atau lembaga pers yang legal.

Jadi, sudah cukup jelas bahwa pemblokiran 19 situs Islam bermuatan radikal bukanlah bentuk pembungkaman media Islam, melainkan upaya untuk menanggulangi radikalisme di Indonesia sejak dini. Diharapkan dengan adanya penjelasan-penjelasan valid terkait kasus pemblokiran tersebut, sekiranya dapat membuat kita lebih waspada terhadap ancaman radikalisme di Indonesia. Salam damai!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline