“Saat itu, air bah yang menggulung daratan hingga ke wilayah kesultanan, menyapu apa saja yang dilaluinya. Tapi mukjizat datang di vihara ini, air bah seolah enggan menyentuh vihara.”
[caption id="attachment_354710" align="aligncenter" width="480" caption="Sang Pandita yang tengah menceritakan sejarah vihara (dok. Hesti Edityo)"][/caption] [caption id="attachment_354711" align="aligncenter" width="480" caption="Kisah tentang bencana letusan gunung Krakatau tahun 1883 yang tertulis dalam tiga bahasa. (Dok. Hesti Edityo)"]
[/caption] Kalimat tersebut terucap dari salah seorang pandita di hadapan puluhan siswa berseragam putih abu, yang siang itu tengah berkunjung ke vihara Avalokitesvara, Serang, Banten. Sang pandita begitu semangat menceritakan bencana alam yang melanda di tahun 1883, saat gunung Krakatau meletus dan tsunami mengguyur daratan di sekitarnya. Kisah yang juga diabadikan dalam tulisan berbingkai di salah satu dinding vihara ini, mengingatkan kisah serupa saat tsunami melanda Aceh. Bedanya, bukan vihara, tetapi masjid-masjid di Aceh yang selamat dari kepungan air bah dari laut. Kisah tempat ibadah, yang diyakini sebagai tempat suci, apapun agamanya, adalah kisah nyata yang menyadarkan kita, sejatinya agama mengajarkan tentang kebaikan dan kesucian. Pemeluk agama yang sesungguhnya adalah yang mampu menjaga kesucian hati. [caption id="attachment_354712" align="aligncenter" width="300" caption="Catatan letusan gunung Krakatau dan mukjizat yang terjadi pada vihara, dimana salah satunya tertulis dalam bahasa Indonesia. (Dok. Hesti Edityo)"]
[/caption]
[caption id="attachment_354713" align="aligncenter" width="480" caption="Bagian relief di salah satu lorong, yang menceritakan sejarah vihara, Putri Ong Tien dan Sunan di masa lalu. (Dok. Hesti Edityo)"]
[/caption] [caption id="attachment_354714" align="aligncenter" width="360" caption="Lorong dengan dinding-dinding berhiaskan relief catatan sejarah. Abaikan bocah imut di tengah lorong ;) (Dok. Hesti Edityo)"]
[/caption]
Menceritakan sejarah berdirinya vihara Avalokitesvara ini, tak lepas dari sejarah Kesultanan Banten itu sendiri. Sekitar abad ke 16, terdapat serombongan saudagar tionghoa yang tengah melakukan perjalanan menuju Surabaya, seperti dikisahkan oleh pandita vihara pada kami. Rombongan yang kehabisan bekal ini, memutuskan untuk singgah di kesultanan Banten. Salah satu anggota rombongan, Putri Ong Tien, rupanya memikat hati Syarif Hidayatullah atau yang dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati, yang saat itu merupakan penguasa Kesultanan Banten. Budaya keislaman yang sudah mengakar kuat di masyarakat Banten kala itu, memunculkan gesekan sosial di masyarakat. Apalagi, konon sebagian dari rombongan tionghoa ini memutuskan untuk memeluk Islam dan sebagian lain tetap bertahan dengan keyakinannya sebagai umat Buddha. Singkat cerita, untuk meredakan suasana, sang sunan memutuskan untuk membangun dua tempat ibadah, yaitu, vihara Avalokitesvara untuk umat Buddha, dan masjid Menara Tinggi atau lebih dikenal dengan nama masjid Pacinan Tinggi untuk umat Islam.
[caption id="attachment_354715" align="aligncenter" width="480" caption="Altar utama, dengan patung Dewi Kwan Im yang didatangkan langsung dari Tiongkok. (Dok. Hesti Edityo)"]
[/caption] [caption id="attachment_354717" align="aligncenter" width="480" caption="Satu dari belasan altar kecil yang memiliki fungsi masing-masing. (Dok. Hesti Edityo)"]
[/caption]
Vihara Avalokitesvara masih terpelihara dengan baik dan masih digunakan sebagai tempat ibadah hingga kini dan beberapa kali mengalami renovasi tanpa mengubah struktur asli bangunan. Vihara ini memiliki satu altar utama, dimana di altar ini terdapat patung Dewi Kwan Im, yang didatangkan langsung dari Tiongkok dan merupakan peninggalan Dinasti Ming. Selain altar utama, terdapat beberapa altar kecil yang memiliki fungsi masing-masing. Ada altar untuk tolak bala, misalnya. Di belakang bangunan utama vihara, terdapat dua pohon Bodi berumur ratusan tahun, yang bibitnya pun dahulu didatangkan dari Tiongkok.
[caption id="attachment_354718" align="aligncenter" width="480" caption="Salah satu dari dua pohon Bodi yang sudah berusia ratusan tahun. (Dok. Hesti Edityo)"]
[/caption] [caption id="attachment_354719" align="aligncenter" width="480" caption="Salah satu sudut selasar di belakang bangunan utama dengan hiasan lukisan yang mengisahkan legenda ular putih. (Dok. Hesti Edityo)"]
[/caption] [caption id="attachment_354720" align="aligncenter" width="480" caption="Vihara Avalokitesvara, berada di sini bagai berada di era Dinasti Ming. (Dok. Hesti Edityo)"]
[/caption] [caption id="attachment_354721" align="aligncenter" width="480" caption="Sisi luar Vihara Avalokitesvara Banten (Dok. Hesti Edityo)"]
[/caption]
Bagaimana dengan kondisi masjid Pacinan Tinggi? Berbeda 180° dengan vihara Avalokitesvara, masjid Pacinan Tinggi tampak tak terurus dan hancur. Hanya tersisa sebuah bangunan mihrab dan sebuah menara. Ironis, di tengah kondisi masyarakat yang begitu lekat dengan nuansa islami, keberadaan masjid ini justru mengenaskan nasibnya. Apa yang menyebabkan kehancuran masjid? Friksi sosial yang muncul di amsyarakat kala itukah? Atau dihancurkan oleh Belanda seperti halnya keratin Surosowan? Entahlah. Tak ada catatan sejarah yang pasti tentang hal ini.
[caption id="" align="aligncenter" width="233" caption="Menara masjid Pacinan Tinggi. (Dok. Hesti Edityo)"]
[/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="360" caption="Bagian sisa-sisa mihrab masjid Pacinan Tinggi (Dok. Hesti Edityo)"]
[/caption]
Catatan dan rekaman gambar dalam artikel ini diikutsertakan dalam Kampret Jepret Bulanan (Kampret Jebul 3). Untuk melihat rangkaian karya dari Kompasianers lainnya silakan kunjungi artikel Kampret Jebul : Kebudayaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H