Lihat ke Halaman Asli

Menguak Kurikulum Kita

Diperbarui: 17 Juni 2015   15:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Ada banyak pertanyaan yang diajukan ke saya tentang kurikulum pendidikan Indonesia saat ini. Bagus mana KTSP dengan K13 (Kurikulum 2013)? K13 kesannya horror, ya? Ribet, ya? Kalau menurut gurunya bagaimana? Soal buku pelajaran bagaimana? Kurang lebih seperti itu pertanyaan yang acap muncul.

Sebelum menyoal K13, sedikit saya ingin mengenang ke belakang saat di mana status saya adalah seorang siswa. Saat SD dulu saya mengalami dua kurikulum, kurikulum ’75 dan kurikulum ’84, sedangkan saat SMP dan SMA kurikulum ’84. Sejujurnya saya tak terlalu paham perbedaan kurikulum-kurikulum kala itu. Seingat saya, saat saya di kelas 2 SD muncul istilah CBSA dan ada pelajaran baru yaitu PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa), yang belakangan pelajaran ini kemudian menghilang. Saat SMA, yang saya tahu, perbedaan angkatan saya dengan adik kelas saya yang menggunakan kurikulum ’94 adalah soal penjurusan. Dimana jaman saya penjurusan di SMA menggunakan nama jurusan Ilmu-ilmu Fisik (A1), Ilmu-ilmu Hayati (A2), Ilmu-ilmu Sosial (A3), dan Ilmu-ilmu Bahasa (A4) sedangkan angkatan sesudah saya menggunakan nama jurusan IPA, IPS, Bahasa. Perbedaan lain yang saya ingat, jatah jam pelajaran untuk mata pelajaran tertentu. Sebagai contoh, untuk Fisika, di jaman saya SMA, untuk jurusan A1 jam Fisika 8 jam per minggu, A2 6 jam per minggu. Sedangkan di kurikulum ’94, jatah jam Fisika 5 jam per minggu untuk jurusan IPA. Adakah perbedaan untuk metode pembelajaran pada kurikulum-kurikulum tersebut? Rasanya, sih, tidak, kalaupun iya, lebih karena faktor gurunya yang inovatif.

Istilah Discovery Learning, Inquiry Learning, yang sekarang menjadi booming di K13, bukanlah hal baru sebenarnya. Saat SD dulu, guru saya sering menerapkan metode ini untuk pembelajaran di kelas. Saya ingat betul, kala itu kami belajar tentang bagian-bagian bunga, dan guru kami meminta kami untuk membawa setangkai bunga sepatu (Hisbiscus Rosa Sinensis). Kami diminta untuk mengamati bagian kelopak, putik, benang sari, dan tangkai untuk kemudian dicocokkan dengan gambar bunga di buku. Satu pembelajaran yang sangat berkesan, yang tanpa saya sedari memengaruhi saya di kemudian hari. Atau bagaimana dulu, menjelang pulang, kami beradu menghitung dengan cara mencongak dalam suasana yang menyenangkan, dan sebagai reward, siapa yang lebih dulu menjawab dengan benar, dialah yang akan pulang lebih dulu.  Saya kemudian membandingkan dengan anak-anak saya, yang notabene bersekolah di era canggih, hanya dengan sekali klik terbukalah segala informasi. Saya tanyakan padanya sambil menunjukkan setangkai bunga sepatu, mana putik, mana benang sari. Jawabnya, “Lupa, Bu!”. Apa yang pernah dipelajarinya rupanya tak terlalu melekat, karena hanya sebagai faktor hafalan saja. Begitu saya tunjukkan, dia lantas berkata, “Oh, yang kayak di buku itu? Yang kayak di laptop?”. Bagaimanapun sesuatu yang konkret rupanya lebih melekat pada anak seusia mereka dibanding yang abstrak. Tapi sayang, kadangkala sistem pembelajaran di sekolah kurang memperhatikan ini. Kapan anak baru masuk ke taraf berpikir konkret saja, kapan sudah dapat berpikir abstrak. Kurikulum pendidikan kita di era canggih ini memang luar binasa (saking luar biasanya). Suatu hari saya terkejut, saat mendapati anak sulung saya tengah menghafalkan istilah rangka tubuh manusia dalam bahasa latin, padahal saat itu dia baru duduk di kelas 4 SD. Saya katakan padanya, “Jangan kamu teruskan menghafalkannya, ini pelajaran anak SMA kelas X!”.

Ketika muncul kurikulum baru, KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) yang kemudian berubah nama menjadi KTSP, satu hal yang kala itu digembar-gemborkan adalah bahwa kurikulum tersebut disesuaikan dengan karakteristik daerah/sekolah masing-masing. Meskipun pada akhirnya yang menjadi karakteristik sekolah hanyalah sebatas pelajaran mulok (muatan lokal), yang artinya menambah beban belajar karena bertambahnya jumlah mata pelajaran. Bayangkan, untuk anak kelas X di SMA, mereka setidaknya harus belajar 17 mata pelajaran per minggu, yang kadang membuat saya, sebagai gurunya berpikir, ini anak-anak apa nggak mblenek, ya? Ketimpangan lain adalah soal pelaksanaan UN alias Ujian Nasional yang tetap diberlakukan, meskipun berlawanan dengan “semangat” KTSP yang seharusnya menampung perbedaan kondisi sekolah. KTSP sendiri merupakan singkatan dari Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, dimana guru di sekolah-sekolah diberi kewenangan mengembangkan kurikulum sesuai dengan karakteristik dan kondisi sekolahnya. Lalu, kenapa untuk ujian akhir diseragamkan? Okelah bila UN hanya sebatas digunakan sebagai pemetaan mutu dan kualitas pendidikan, bukan sebagai persyaratan kelulusan.

[caption id="" align="aligncenter" width="417" caption="Pelatihan Kurtilas (doc. Hestiedityo on instagram)"][/caption]

Soal buku, yang sempat saya baca di status teman, dikatakan bila KTSP menjadi ajang “pesta” mafia buku, itu sebabnya kemudian diluncurkan K13 dengan maksud memberantas mafia buku, saya kok kurang sepakat, ya? Begini, setahu saya soal mafia buku itu memang “kelakuan” di tingkat sekolah, bukan di tingkat atas. Pemerintah pun pernah meluncurkan BSE (Buku Sekolah Elektronik), dimana buku-buku ini bisa diunduh secara gratis dan digunakan sebagai bahan ajar di sekolah. Tapi rupanya, program ini tak sepenuhnya berjalan, baik karena kendala teknis atau terlanjur mengakarnya mafia buku sekolah. Belakangan, muncul pula BOS Buku, yaitu dana BOS yang diperuntukkan untuk membeli buku teks siswa, meskipun jumlahnya belum mampu sepenuhnya digunakan untuk membeli buku yang dapat digunakan per siswa. Seingat saya, pemerintah cukup beritikad baik mendengar keluhan orang tua siswa yang seringkali keberatan atas kewajiban kepemilikan buku-buku pelajaran yang ditetapkan oleh sekolah. Jelas ada, kok, peraturan tentang hal ini, meskipun beberapa sekolah tetap “nakal”. Tapi jangan pula keburu emosi dengan “kenakalan” soal buku ini. Meskipun ada hubungan simbiosis mutualisma yang berkaitan dengan rupiah antara penerbit dan pihak sekolah (saya tidak pungkiri ini), ada sisi lain yang harus kita perhatikan, berapa banyak sekolah yang sudah memiliki perpustakaan lengkap? Berapa banyak sekolah yang mampu meminjamkan buku teks untuk setiap siswa di sekolah? Tak banyak, bahkan mungkin sangat sedikit jumlahnya. Padahal keberadaan buku ini mutlak adanya. Saya sendiri pernah mengajar di sekolah yang mewajibkan siswanya membeli buku paket tertentu, dan pernah pula mengajar di sekolah yang jangankan mewajibkan hal ini, untuk meminta dana pendidikan (SPP) bulanan saja kesulitan. Ada perbedaan pola mengajar di kedua sekolah tersebut. Di sekolah pertama, saya bisa lebih fokus pada hal-hal yang memang sulit dipahami secara mandiri oleh siswa, hal-hal lain yang bisa dipelajari sendiri hanya sekilas saya bahas. Sedangkan di sekolah kedua, jujur saja waktu saya habis untuk menyampaikan semua hal di depan kelas karena sumber informasi satu-satunya adalah guru. Buku tak punya, pepustakaan sekolah pun kala itu tak ada. Mau tak mau, akhirnya, saya “dipaksa” untuk membuat bahan ajar sendiri, meskipun hanya berupa diktat yang sederhana dan sangat ringkas, yang belum sepenuhnya memuat hal-hal yang harus diketahui siswa. Jadi, seharusnya memang ada jalan tengah untuk masalah buku, siswa tak harus membeli buku, boleh meminjam, entah dari sekolah (bila ada) atau dari tempat lain bila memang yang bersangkutan tidak mampu, tetapi mereka yang mampu, setidaknya bisa mengalah untuk membeli buku secara mandiri.

Di kurikulum 2013 persoalan tentang buku menjadi poin penting. Pemerintah menyanggupi untuk menyediakan buku teks siswa maupun buku guru. Bagaimana fakta di lapangan? Ya, sejumlah buku mata pelajaran wajib memang sudah didistribusikan ke sekolah-sekolah, tetapi buku-buku untuk mata pelajaran peminatan hingga saat ini masih banyak sekolah yang belum mendapatakannya. Persoalan buku memang bukan persoalan ringan, kucuran dananya pun tentu bukan main. Wajar jika distribusi buku hingga saat ini masih tersendat. Untuk itu ada semacam himbauan untuk sekolah yang belum memiliki buku teks untuk membeli sendiri, baik menggunakan dana BOS buku atau secara mandiri. Penerbit-penerbit yang lolos untuk menerbitkan buku K13 pun sudah diumumkan melalui lampiran Peraturan Menteri. Oya, meskipun buku-buku ini terekomendasi, namun ketika kami, para guru, menganalisis isi buku siswa dan buku guru nyatanya masih banyak ditemui kekurangan-kekurangan. Sebagian besar buku-buku tersebut tak jauh beda dengan KTSP untuk soal konten. Hal ini yang membuat banyak guru memilih tetap menggunakan buku lama dalam pembelajaran dengan menambahkan kekurangan atau menghilangkan sebagian isi yang memang sedikit berbeda silabusnya antara K13 dan KTSP.

Di awal pelaksanaan K13, sempat ada yang mengajak saya untuk ikut menolak pelaksanaan K13. Saat itu saya tak menerima ajakan itu. Kenapa? Pertama, saya belum sepenuhnya memahami isi K13, belum tahu betul baik buruknya, jadi mana bisa saya menilai secara obyektif bila mengenal pun belum? Sekolah saya baru melaksanakan K13 di tahun pelajaran 2014 ini. Memang banyak yang menyodorkan pendapat para “ahli” soal K13 ini, tetap saja saya keukeuh untuk tak sekedar jadi follower. Kedua, saya menyimpan harapan atas pemberlakuan K13. Harapan menyangkut kompetensi guru, kompetensi siswa, dan aktivitas pembelajarannya. Lantas apa sebenarnya yang menjadi persoalan pemberlakuan K13 ini, sehingga kemudian Anies Baswedan menangguhkan pelaksanaan K13 untuk sekolah-sekolah yang baru memberlakukan K13 1 semester,  dan hanya menerapkan K13 untuk sekolah-sekolah yang sudah menjalakannya selama 3 semester? Ketika kemudian saya nyebur di dalamnya, baru saya pahami apa yang menjadi persoalan.

Dalam K13 guru disibukkan dengan sejumlah penilaian, yang secara administratif sungguh menyita waktu. Sehingga sering muncul seloroh di kalangan guru, “Ini disuruh nilai ini itu, terus kapan ngajarnya?”. Bahkan beredar meme yang menggambarkan seorang wali kelas pingsan di depan laptop karena kelelahan mengisi raport K13. Banyaknya instrument penilaian yang harus dikerjakan guru, memang cukup membuat guru keteteran. Secara teori, guru mungkin bisa menilai semua aspek dengan berbagai instrumennya tersebut bila memang pembelajaran di kelas “bisa dilepas”, dalam artian siswa benar-benar aktif, kreatif, dan kondusif melaksanakan metode pembelajaran yang menekankan student center. Pembelajaran dengan pendekatan saintifik pada K13 adalah mutlak sifatnya. Pendekatan saintifik sendiri merupakan salah satu pendekatan dalam proses pembelajaran, dimana siswa harus melalui tahap mengamati, menanya, mencoba/mengumpulkan informasi, mengasosiasi, dan mengomunikasikan. Mengamati artinya, siswa melakukan pengamatan terhadap suatu peristiwa atau model baik secara langsung di lingkungan sekitarnya, atau melalui slide, bisa juga melalui demontrasi dari gurunya hal-hal yang berkaitan dengan materi yang dipelajari. Menanya, siswa diharapkan mengajukan pertanyaan tentang materi yang sedang dipelajarinya. Bagian inilah yang kadang tak jalan karena banyak siswa yang enggan untuk bertanya, atau tak tahu apa yang harus ditanyakan. Pada bagian mengasosiasi juga sering ditemukan kendala dimana siswa mengalami kesulitan untuk menghubungkan suatu hal dengan hal lain karena terbatasnya referensi atau minimnya minat baca si anak.Akhirnya, banyak rekan guru (termasuk saya sendiri) mengeluh, “Kami sudah mencoba, tapi nggak jalan. Akhirnya, ya, back to basic, deh….Gitu lagi gitu lagi ngajarnya….”. Lain lagi persoalan yang dihadapi guru-guru di tingkat SD, pembelajaran tematik yang diberlakukan di K13 sungguh membuat pusing kepala gurunya (juga orang tua seperti saya yang memiliki anak masih duduk di bangku SD).

Mengubah pola pembelajaran di kelas yang sudah terlanjur mengakar memang tak semudah membalik telapak tangan. Butuh waktu, butuh kesabaran, butuh strategi. Butuh kemauan yang kuat dari gurunya, dukungan dari lingkungan dan ketersediaan sarana. Dalam pembelajaran berpusat pada peserta didik, dibutuhkan sosok guru yang inovatif, kreatif, dengan kompetensi yang sesuai. Pada sisi siswa pun dibutuhkan kesadaran belajar siswa yang tinggi, memiliki rasa ingin tahu, kritis, yang tentunya merupakan bentukan sedari tingkat dasar. Untuk menumbuhkan pola pikir siswa yang demikian tak bisa lepas dari dukungan lingkungan, terutama faktor keluarga. Dalam masyarakat kita, seringkali orang tua mengeluarkan “jurus pamungkas” pada anaknya yang sedang dalam fase mencari tahu bila anaknya bertanya sesuatu hal yang sulit dijelaskan orang tua. Semisal, bila anak bertanya, “Kok Ayah nggak bisa hamil, tapi Ibu bisa?”. Jawaban paling gampang dari pertanyaan ini, “Takdir!”. Jawaban sederhana tapi salah besar! Meski sebenarnya kita bisa menjawab, “Karena Ibu punya rahim, dan Ayah tidak.”. Memang biasanya akan ada pertanyaan lanjutan, “Rahim itu apa? Masukin dede ke rahimnya gimana?” Atau pertanyaan lain yang memaksa orang tua memutar otak. Saya sendiri sering mendapati pertanyaan semacam ini dari anak-anak saya seperti pernah saya tulis dulu di sini.

Belum lama, tepatnya akhir November kemarin, saya baru saja mengikuti Pelatihan Implementasi Kurikulum 2013 selama 5 hari. Instruktur di kelas saya menayangkan sebuah video yang menggambarkan sebuah pembelajaran dengan pendekatan saintifik. Dalam video tersebut ditunjukkan adegan seorang guru yang tengah menunjukkan konstruksi sebuah jembatan, kemudian menjelaskan apa-apa yang harus dilakukan siswanya dalam rangka menggali informasi secara mandiri. Tak cukup dengan itu, siswa juga kemudian diminta membuat miniatur/model jembatan yang sebelumnya telah dirancang secara matang, bentuk konstruksinya, daya tahan terhadap beban, dan sebagainya. Terakhir sebagai konfirmasi, para siswa tersebut kemudian berkomunikasi by video call dengan seorang ahli konstruksi. Video yang sungguh memukau, memotivasi kami, dan memunculkan mimpi, “Kapan, ya, saya bisa menciptakan pembelajaran di kelas seperti itu?”. Ya, sekarang! Tapi….kalau sarananya, lingkungannya, ini itunya begini-begini terus bagaimana? Terdengar apatis? Ya, begitulah. Memang demikian adanya yang terjadi di lapangan.

Sekali lagi, untuk mengubah pola pembelajaran harus disertai perubahan dari segala aspek, meskipun ujung tombaknya tetap di guru. Itupun butuh waktu yang tentunya tidak sekejap kedipan mata. Maka, selang beberapa hari setelah  saya pulang dari pelatihan dan membaca surat keputusan dari Anies Baswedan yang dikirimkan ke tiap sekolah tak jelas perasaan saya. Satu sisi saya senang karena tak perlu direpotkan dengan berbagai instrument penilaian di semester depan. Di sisi lain saya pun menyesali, kenapa harus semester depan kami kembali ke KTSP? Kenapa tidak menunggu tahun pelajaran 2014/2015 ini tuntas? Sejujurnya kami pun direpotkan dengan keputusan ini, karena dalam satu tahun pembelajaran berlaku 2 kurikulum yang berbeda. Soal pola pembelajaran di K13 melalui pendekatan saintifiknya memang masih tetap bisa kami terapkan di kurikulum manapun dan kapanpun. Tapi, bagaimana dengan struktur kurikulumnya yang juga harus diubah kembali? Mengubah jatah jam belajar berbagai mata pelajaran, mengubah pola penjurusan….ah…lieur. Kumaha guruna wae, kitu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline