Langit Merah di Ujung Hari
Di sebuah apartemen kecil yang terhimpit di tengah gedung-gedung tinggi, Raka duduk di sudut kamarnya. Ia menatap layar laptop yang masih menyala, menampilkan email yang baru saja diterimanya. Pesan itu singkat, padat, dan menusuk: "Kami menghargai kontribusimu selama ini, namun dengan berat hati kami harus mengakhiri kontrak kerjamu." Kalimat itu terus terngiang di kepalanya. Baginya, pekerjaan itu adalah satu-satunya pijakan dalam hidupnya yang kian terasa tak stabil.
Raka menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tapi di zaman serba digital ini, masalah tidak berhenti di satu email. Ponselnya terus bergetar, notifikasi pesan dan panggilan masuk dari teman-teman kantor yang ingin memastikan kabar buruk itu. Ia tak sanggup menjawab satu pun. Semua pesan hanya ia biarkan menumpuk, seolah membangun dinding tambahan di antara dirinya dan dunia luar.
Sore itu, langit di luar jendela apartemen terlihat memerah, seperti terbakar api. Pemandangan itu sebenarnya indah, tetapi bagi Raka, warna merah itu seperti simbol amarah dan ketidakberdayaannya. Ia mencoba mengingat kapan terakhir kali ia merasa benar-benar bahagia. Apakah saat ia mendapat promosi setahun lalu? Atau mungkin ketika ia berhasil menyelesaikan proyek besar yang membawa keuntungan besar bagi perusahaan? Namun, momen-momen itu kini terasa hampa.
Raka bangkit dari kursinya dan melangkah ke dapur kecil di pojok ruangan. Ia membuat secangkir kopi, berharap kepahitan minuman itu bisa menyamarkan getir yang bersarang di hatinya. Saat menyeruput kopi, pandangannya jatuh pada kalender yang tergantung di dinding. Hari ini adalah tanggal 20 November, ulang tahun ibunya. Namun, ia bahkan lupa mengucapkan selamat. Terlalu sibuk dengan pekerjaan, hingga lupa pada hal-hal sederhana yang penting.
Tiba-tiba, bayangan wajah ibunya muncul dalam benaknya. Ia teringat bagaimana ibunya selalu berkata, "Raka, hidup itu seperti naik gunung. Kalau kamu lelah, berhenti sebentar, tapi jangan pernah mundur." Kata-kata itu dulu hanya angin lalu baginya, tapi sekarang terasa seperti pesan penting yang harus ia pegang erat.
Raka menaruh cangkirnya dan kembali ke meja kerja. Ia membuka sebuah dokumen baru di laptopnya.
"Teripikir-pikir apakah aku harus memulai sesuatu hal yang baru?," gumamnya. Selama ini, ia selalu memendam mimpi menjadi seorang penulis. Namun, rasa takut gagal selalu membuatnya memilih jalur yang lebih aman. Tapi kini, tanpa pekerjaan, tanpa tekanan dari kantor, ia merasa ada ruang untuk mencoba.
Tangannya mulai mengetik. Kata demi kata mengalir, menceritakan kisah seorang pria yang kehilangan pekerjaan, namun menemukan dirinya kembali melalui tulisan. Saat menulis, Raka merasa beban di dadanya perlahan-lahan terangkat. Ia tidak tahu apakah tulisannya akan menghasilkan uang atau diterima oleh orang lain, tetapi setidaknya ia merasa hidupnya kembali memiliki arah. Tangannya terus mengetik tanpa henti. Kisah yang ia ciptakan seperti cermin bagi perjuangan hidupnya sendiri---seorang pria yang kehilangan pekerjaan, kehilangan harga diri, dan hampir menyerah. Namun, di saat ia mulai merasa bangkit, badai baru datang menghantam.
Raka memutuskan mengirimkan naskah pertamanya ke sebuah penerbit terkenal. Dengan penuh harapan, ia menunggu jawaban. Minggu demi minggu berlalu, tapi tidak ada kabar. Akhirnya, sebuah surel masuk. Saat membacanya, hatinya seolah dihantam palu: penolakan. Mereka menyebut tulisannya kurang menarik, terlalu klise, dan tidak punya nilai jual.
Hancur, Raka merobek salinan naskahnya. "Untuk apa aku terus menulis? Aku hanya buang waktu! ". Amarah dan kecewa bergumul dalam dadanya.