Lihat ke Halaman Asli

Dilema Pemilukada di Indonesia (Bag. I)

Diperbarui: 26 Juni 2015   11:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

election_da01 by ~yip87

[caption id="" align="alignleft" width="184" caption="election_da01 by ~yip87"] [/caption] Demokrasi diyakini banyak pihak adalah sebuah jawaban bagi permasalahan umat, sebab diantara berbagai macam sistem pemerintahan yang lain demokrasi adalah yang terbaik diantara yang terburuk. Walaupun tidak sedikit pihak yang ragu terhadap kredibilitas sistem ini, seperti Lipset yang mengutip Schumpeter (1950) yang menyatakan bahwa demokrasi merupakan produk dari proses kapitalis[1]. Pendapat tersebut tidak dapat disalahkan, karena jika kita berkaca pada keadaan di Cina dan Kuba saat ini sebagai dua negara diktator, mereka  yang sangat maju sekaligus berpengaruh di dunia dan sangat berani menantang Amerika Serikat sebagai kiblat demokrasi di dunia. Indonesia saat ini masih mempercayai demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang sesuai dengan nilai falsafah pancasila dan selaras dengan UUD 1954. Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat pesta rakyat 5 tahunan. Pemilihan umum. Semua orang sibuk, mulai dari penjabat teras hingga rakyat yang mengais – ngais beras. Para elit politik sibuk mempersiapkan diri mereka dengan menyembunyikan semua borok luka dimasa lalu dan merancang visi misi sakti nan puitis untuk merayu 260 juta rakyat di Indonesia. Rakyat pun sibuk dengan dirinya masing - masing, sibuk mencari politikus yang hendak membayar mereka untuk sorak – sorai di masa kampanye nanti. Ironis. Apakah ini yang dicita – citakan Pancasila dan UUD 1945 yang di desain dengan begitu kompleksnya oleh para founding father di era proklamasi dulu? Tak puas dengan Pemilu, kini ada Pemilihan Umum Kepala Daerah. Lalu apakah ini menjadikan proses demokrasi di Indonesia menjadi lebih baik? Belum tentu. Ada banyak kejadian  - kejadian di Pemilukada yang terdengar seperti cerita sinetron. Bayangkan, pada tahun 2008 terdapat  seseorang yang mencalonkan diri menjadi Bupati Ponorogo Jawa Timur yang “sempat agak miring otaknya”. Ia pernah lari dari Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Harjono, Ponorogo, hanya dengan memakai celana dalam. Ia juga pernah tiduran di trotoar sehingga menjadi tontonan warga, hingga akhirnya dinyatakan sehat hingga bisa diadili di Pengadilan Negeri Ponorogo atas dugaan penipuan dan penggelapan senilai Rp 2,9 miliar. Dan sangat besar kemungkinan bahwa itu adalah uang yang digunakan untuk pencalonannya[2].

Para elit politik sibuk mempersiapkan diri mereka dengan menyembunyikan semua borok luka dimasa lalu dan merancang visi misi sakti nan puitis untuk merayu 260 juta rakyat di Indonesia. Rakyat pun sibuk dengan dirinya masing, sibuk mencari politikus yang hendak membayar mereka untuk sorak – sorai di masa kampanye nanti.

Kisah calon Bupati diatas hanya sebagian kecil dari carut - marutnya sistem demokrasi di Indonesia. Sebab mulai dari proses pencalonan dari partai politik hingga pasca menjabat setelah menang dalam [caption id="" align="alignright" width="155" caption="anti korupsi by ~LACHI17"]

anti korupsi by ~LACHI17

[/caption] pemilihan langsung selalu memiliki sisi gelapnya tersendiri. Tidak heran jika dari dulu banyak pihak yang menggoyang  - goyang berdirinya sistem demokrasi di negeri ini, ada Partai Komunis Indonesia yang dikebiri oleh Mantan Presiden Soeharto yang pada akhirnya dikebiri pula oleh para Mahasiswa karena kediktatorannya, lalu saat ini dengan bumbu ancaman teroris banyak media yang menuduh ormas – ormas Islam memiliki misi untuk menjadikan Indonesia negara Islam. Jika melihat keadaan demokrasi Indonesia yang memakan banyak biaya namun akhirnya hanya melahirkan penjabat – penjabat yang kelaparan, wajar penulis rasa jika terbesit pikiran yang  menginginkan demokrasi dihapuskan dari tanah air.

makna demokrasi saat ini hanya menyempit pada kotak suara

Namun menurut penulis, cara menjadikan bangsa ini lebih baik adalah tidak dengan menghapus demokrasi, namun memperbaikinya. Karena sebenarnya semangat demokrasi tidak hanya sebatas prosedural yang dibuktikan dengan terselenggaranya Pemilihan Langsung oleh rakyat. Jika hanya seperti itu, berarti makna demokrasi saat ini hanya menyempit pada kotak suara. Karena idealitanya selain harus ada kontestasi dan partisipasi masyarakat, demokrasi harus menjamin pengakuan kebebasan dalam tingkat tertentu (freedom of speech, freedom of press, freedom to organize and assemble)[3] yang nanti semuanya akan menuju pada kedaulatan rakyat. Dari uraian diatas, dapat dilihat bahwa proses demokrasi di Indonesia tidak berjalan maksimal. Dengan kata lain masih ada kekurangan – kekurangan yang harus diungkapkan dan dianalisis. Dalam hal ini Pemilukada sebagai proses demokrasi yang dianggap masih muda umurnya, harus mendapat sorotan utama. Sebab semakin jauh dari pusat pemerintahan, maka pengawasan akan sangat minim. Hal ini dapat dilihat dari maraknya kasus penyelewengan APBD yang dilakukan Kepala Daerah yang lahir dari proses demokrasi. Mahkamah Konstitusi pun meng-amin-kan pendapat ini, karena nyaris semua dalil penggugat yang jumlahnya ratusan kasus itu diwarnai laporan perihal terjadinya praktik politik uang[4]. Oleh karena itu kondisi Pemilukada di Indonesia saat ini akan menjadi fokus pembahasan dalam tulisan mengenai demokrasi di Indonesia ini. Bersambung ke "Dilema Pemilukada Di Indonesia II" http://hesadrian.wordpress.com/ [1] S.M. Lipset. The Social Requisites of Democracy Revisited: 1993 Presidential Address’, American Sociological Review, vol. 59, no.1, hlm. 2 [2] KOMPAS, Jumat, 8 Oktober 2010 [3] Larry Diamond, Developing Democracy : Toward Consolidaiton, Maryland: John Hopkins University Press.1999 diterjemahkan IRE Press Yogyakarta, hlm. 10 [4] KOMPAS. Jumat, 8 Oktober 2010




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline