Lihat ke Halaman Asli

Hery Wibowo

Kolumnis dan Praktisi Pendidikan

Ruang Kreasi bagi Pendidikan Karakter

Diperbarui: 9 Maret 2023   04:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Hari-hari belakangan ini, Indonesia kembali dikejutkan ndengan ulah sejumlah peserta didik yang melakukan perbuatan tidak terpuji, mulai dari bermotor sambil bawa celurit, pamer kekayaan orang tua, melakukan penganiayaan kepada remaja lain, membunuh pasangan karena cemburu dan lain sebagainya. Ragam peristiwa ini jelas menorehkan luka, dan pekerjaan rumah bagi perbaikan pelaksanaan proses belajar mengajar, khususnya pendidikan karakter.

Isu pendidikan adalah ibarat sumur yang tidak pernah kering untuk digali. Setiap digali lebih dalam, ada harapan dan potensi sumber air untuk maslahat yang lebih besar. Oleh karena itu, sejatinya setiap opini dan diskusi tentang pendidikan, adalah aset dan modal dasar bagi penyempurnaan layanan pendidikan bangsa.

Subjek utama pendidikan adalah manusia. Maka, upaya memahami manusia secara utuh, filosofis, dan juga mengenal faktor lingkungan yang melingkupinya, adalah stasiun awal yang baik untuk memulai penjelajahan untuk menemukan metode transformasi pendidikan yang lebih baik.

Manusia Mahkluk Fitrah

Manusia adalah mahluk yang selain memiliki fisik, pancaindra dan akal pikiran, juga memiliki fitrah, hati nurani dan spiritualitas. Keadaan fisik, pancaindra dan akal, pada hakikatnya merupakan kendaraan yang mengikuti keinginan hati nurani dan spiritual (Nata, 2018). Sehingga sejatinya proses pendidikan tinggal mengikuti 'fitrah' tersebut, dan dijaga agar tidak ternodai dengan hal-hal yang berpotensi merusaknya. Sejatinya, aktivitas belajar merupakan perilaku yang mulia. 

Belajar, bahkan bisa dikatakan sebagai fitrah manusia. Manusia secara naruliah, dari bayi 'belajar' untuk hidup, bertahan hidup dan kemudian tumbuh dan berkembang. Semakin bertambah usianya, manusia mulai memasuki sistem sosial, yang kemudian mencoba 'mengajarinya' dan mengajaknya 'belajar' sesuai dengan norma, nilai dan aturan dan sistem ekologi sosial dimana ia berada.

Maka, ketika proses pendidikan berjalan dengan baik, seharusnya 'tinggal' mengikuti fitrah tersebut. Proses pendidikan perlu cerdas membaca sinyal fitrah tersebut, sehingga mampu menyediakan kurikulum dan infrastruktur untuk menghasilkan pola pendidikan terbaik bagi pengembangan potensi terbaik peserta didik, baik dari dimensi kognitif (wawasan pengetahuan), afektif (nilai, norma, etika) dan psikomotorik (perilaku kecakapan dan kapabilitias kerja). 

Jelas ini merupakan pekerjaan rumah yang 'tiada akhir' bagi siapapun yang sedang memegang amanah membangun layanan pendidikan bangsa secara khusus, dan seluruh anggota masyarakat secara umum.

Membangun Karakter

Weber (Maunah, 2016), salah seorang tokoh sosiologi, menegaskan bahwa seyogianya keilmuan sosiologi berusaha untuk menjelaskan dan menerangkan kelakuan/perilaku manusia dengan menyelami dan memahami seluruh sistem, arti, maksud subyektif yang mendahului, menyertai dan menyusulnya. Maknanya, negara perlu hadir menyelami fitrah individu, untuk mengetahui potensi generasi yang akan melalui serangkaian sistem pendidikan versi negara. 

Negara perlu lebih intensif lagi hadir untuk membangun karakter demi karakter individu warga negara. Proses kolaboratif dengan warga negara aktif (active citizen) dapat diprioritaskan untuk membagi amanah besar ini. Para tokoh pendidikan dan tokoh masyarakat dapat dilibatkan dalam sinergi kolaboratif ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline