Lihat ke Halaman Asli

Hery Sinaga

TERVERIFIKASI

Pegawai Negeri Sipil

Fenomena Gunung Es Kekerasan oleh Siswa, Ini Salah Siapa?

Diperbarui: 1 Oktober 2023   18:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi gambar : bphn.go.id

Tulisan ini saya mulai dari catatan tentang satu perkampungan di daerah dimana saya dilahirkan. Sebut saja nama kampung itu adalah Balan. Sebuah desa di Kabupaten Simalungun. Tapi sebelumnya ini hanya lah sebuah opini persepsi berdasarkan pengamatan sehari-hari.

Dari beberapa desa yang ada, Desa Balan merupakan salah satu desa yang anak-anaknya terkenal nakal dan brandalan atau identik dengan premanisme. Persepsi itu terbentuk karena memang setelah dewasa, banyak yang pengangguran dan akhirnya menjadi preman, pemabuk, peminum alkohol, ada yang jadi supir angkot, kerja serabutan.

Karena dalam pikiran mereka, pendidikan itu tidak terlalu dianggap penting. Sebagain besar hanya menamatkan sekolah sampai tingkat SMA dan bahkan ada juga yang tidak tamat SD, SMP maupun SMA. Sangat jarang sekali anak-anak dari desa itu menamatkan sekolah hingga perguruan tinggi.

Jadi ketika bersekolah dari sekolah dasar hingga SMP, saya pernah berteman satu sekolah dengan anak-anak dari kampung Parbalan. Selalu ada kelas dimana di isi oleh anak-anak yang nakal dan berandalan. Kala itu sekolah tingkat SMP, ada kelas 3-8 terkenal dengan siswa yang nakal-nakal. Dari siswa yang nakal itu, ternyata ada di isi oleh anak yang berasal dari desa Balan.

Usut punya usut, kenakalan yang mereka perlihatkan dalam sikap perilaku baik di lingkungan tempat tinggal dan di sekolah, tidak lepas dari latar belakang orangtua dan ekonomi. Kebanyakan orang tua dari desa itu punya karakter yang keras dalam konotasi negatif dan memiliki tingkat pendidikan yang rendah paling tinggi tamat sampai tingkat SMA. Sementara tingkat ekonomi masyarakat atau orang tua dari desa itu masuk kategori ekonomi menengah kebawah dan miskin karena sebagian besar atau kebanyakan pekerjaan hanya bertani, serabutan, supir dan buruh kasar.

Faktor pendidikan, ekonomi dan profesi pekerjaan yang rendah berpengaruh terhadap pola asuh dan didik kepada setiap anak-anak mereka. Anak-anak di desa itu sangat dibebaskan untuk bermain-main tanpa ada batas waktu dan itu semua tanpa adanya pengawasan yang ketat dari orangtua mereka.

Kekerasan bahkan sampai berujung tindakan kriminal seperti apa yang terjadi hari ini, adalah fenomena gunung es. Apabila tidak diantisipasi tentu akan menjadi satu masalah sosial yang sangat serius dihadapi kedepannya.

lantas Kalau ditanya, kenapa kekerasan oleh siswa, anak atau remaja kerap kali terjadi bahkan sampai berujung kriminal? dan siapa yang patut disalahkan?

Jawabnya tentu tidak menjadi faktor tunggal penyebab hal itu terjadi. Banyak faktor internal dan eksternal yang memicu kenapa itu bisa terjadi. Faktor internal seperti karakter yang nakal, tidak bisa mengendalikan emosi dan hal-hal perilaku menyimpang yang berasal dari dalam diri sendiri. adapun faktor eksternal yang mempengaruhi seperti kurang nya peran orang tua dalam mendidik, kurang nya kasih sayang, faktor ekonomi keluarga, karakter orangtua yang buruk sehingga berpengaruh terhadap pola asuh, kurangnya pengawasan dari orang tua, sekolah, lingkungan yang buruk, terpapar informasi dan konten negatif.

Dalam perspektif psikologi, usia anak/remaja adalah usia Anak yang berusia 12 sampai dengan 18 tahun (Undang -- Undang No. 12 Tahun 2012, merupakan rentang usia yang tergolong memiliki karakteristik perkembangan yang mungkin membuat anak sulit untuk melakukan penyesuaian diri sehingga memunculkan masalah perilaku.

Berangkat dari perspektif psikologi remaja kesulitan dalam penyesuaian diri, maka dibutuhkan peran utama dari keluarga inti dari  si anak atau remaja. Dalam hal ini orangtua sebagai entitas dari keluarga inti memiliki peran yang sangat vital dan penting dalam mendidik anak. Menerapkan pola asuh yang baik, dimana aspek kasih sayang terhadap anak terpenuhi sehingga tidak terlewatkan sedikitpun perhatian dari orangtua kepada anak yang membuat anak menjadi kecewa atau merasa tidak diperhatikan. pengawasan yang ketat dari orangtua untuk setiap perilaku dan aktivitas keseharian dari anak perlu diperkuat untuk menjaga si anak terjerembab kepada hal-hal negatif yang merusak kognifit maupun karakter dan perilakunya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline