Lihat ke Halaman Asli

Penerbitan Indie Vs Penerbit Major

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Penerbitan Indie Vs Penerbit Major–Bagi Anda yang sudah punya naskah, jika disodorkan pertanyaan diatas, apa jawabannya? Lebih memilih menerbitkan naskah di penerbit major atau penerbit indie?

Tentu saja jawabannya terserah Anda. Adapun kami tidak bermaksud untuk mempengaruhi atau bahkan sampai mengintervensi karena tidak punya kuasa untuk itu. Dalam tulisan sederhana ini kami hanya akan menjelaskan secara ringkas apa beda antara penerbitan major dan penerbit indie—yang sangat disayangkan sekali sekarang ini belum banyak diketahui oleh mayoritas penulis (kalaupun sudah diketahui hanya bagian permukaannya saja).

Untuk lebih mudahnya, perbedaan antara penerbit indie dan penerbit major ibarat tukang bandros perseorangan (atau lebih) dengan tukang bandros dalam skala besar (industri). Tukang bandros perseorangan (indie) tentu saja bebas mengkreasikan segala inovasi terkait produknya, terkait gerobaknya, terkait harga jualnya, terkait bahan baku, jadwal berdagang dan seterusnya. Segalanya ditentukan sendiri.

Alhasil karena apa-apanya dikerjakan sendiri maka segala keuntungan yang masukpun dinikmati sendiri. Keuntungan yang dia peroleh paling banter dipotong biaya modal yang memang harus dikeluarkan. Tak ada biaya promosi. Tak ada biaya calo dan seterusnya. Rumus profitnya sangat sederhana: pendapatan kotor – biaya modal = keuntungan bersih. Misalnya saja, dalam sehari dia mampu menjual 500 buah bandros dengan harga @Rp 500. Maka total perhari itu ia mendapatkan pendapatan kotor sebesar Rp 250.000. katakanlah biaya modal sebesar Rp 50.000. Maka keuntungan bersihnya = Rp 250.000 – Rp 50.000 = Rp 200.000.

Berbeda dengan tukang bandros dalam skala industri. Banyak variabel yang terlibat didalamnya mulai dari proses produksi yang melibatkan banyak orang sampai proses penjualannyapun (karena bandrosnya banyak) tentu melibatkan banyak orang juga. Paling tidak ada banyak agen atau penjual yang bernaung dibawahnya, yang tentunya harus membagi sebagian keuntungannya bagi mereka. Sangat mungkin pendapatan kotornya besar. Namun berbanding lurus dengan pengeluaran yang juga besar nominalnya. Misalnya pendapatan kotor perhari Rp 5.000.000. Bisa saja pengeluarannya setengahnya. Artinya dia hanya memperoleh Rp 2.500.000.

Kelihatannya memang besar namun tahukah Anda bahwa industri menengah atau besar diawali dengan modal yang besar pula. Kalau modal yang besar itu berasal dari uang pinjaman yang berbunga maka keuntungan bersih itu harus disisihkan sebagiannya untuk membayar utang pokok dan bunganya. So, sami mawon dengan keuntungan tukang bandros perseorangan yang memang memperoleh untung lebih kecil namun tidak usahanya tidak diawali dengan hutang yang besar sehingga kewajiban mencicil hutan menjadi nol (0).

Kurang lebih seperti itu gambaran perbandingan antara penerbitan indie dengan penerbitan major. Penulis yang menerbitkan bukunya secara indie harus mengurus segala sesuatunya sendiri (atau jika tak mau repot Anda bisa menunjuk Herya Media untuk mengurus tetek bengek naskah Anda sampai akhirnya menjadi buku laiknya di toko-toko buku besar: Gramedia). Penerbitan indie harus mengurusi naskah mulai dari naskah ketikan microsoft word, pengeditan, setting/ layout, pembuatan cover, masuk ke percetakan sampai akhirnya binding.

Penerbit indie juga harus menentukan harga jual bukunya dengan hitung-hitungan tersendiri, plus merumuskan bagaimana cara menjualnya. Menjadi penerbit indie dengan kondisi infrastruktur yang serba terbatas harus kreatif dan inovatif supaya paling tidak mampu mengimbangi agresifitas penerbit dan toko buku besar (syukur-syukur bisa memenangkan persaingan). Apa yang telah dikerjakan oleh Dewi “Dee” Lestari atau Ust. Toha Nasruddin yang memiliki nama pena Abu al-Ghifari ialah role model pebisnis self-publishing ideal.

Mereka mampu meramu ide di kepala, diturunkan lewat tulisan menjadi buku kemudian menjualnya secara mandiri. Ust. Toha Nasruddin bahkan jarang menjual buku-bukunya di toko buku besar seperti Gramedia, Gunung Agung dan lainnya. Dia lebih memilih memasarkan buku-bukunya dengan menggandeng toko ritel di daerah-daerah (captive market yang tidak terjangkau toko buku besar seperti Gramedia).

Hasilnya? Silakan Anda datang sendiri ke rumah plus kantornya di daerah Bandung Selatan. Dalam 3 tahun dia mampu mengumpulkan omset Rp 5 miliar dan sekarang bisnisnya makin menjadi. Yang dia punya bukan hanya penerbitan, tapi juga percetakan, bisnis online, dan lainnya. Dia bisa seberhasil itu karena memang passionnya ada disitu. Seorang self-publisher memang harus memiliki passion sebagai seorang pemasar juga. Jadi tidak hanya menulis saja melainkan memikirkan dari hulu sampai hilirnya. Dari produksi sampai marketingnya.

Kami kira kerja keras untuk menerbitkan dan menjual buku secara mandiri akan sebanding dengan profit di depan mata yang siap dipetik. Anda harus yakin bahwa dalam setiap kerja keras disitulah tangan-tangan Tuhan bekerja. Akan ada banyak keajaiban yang diperoleh secara tak terduga. Akan ada banyak pertolongan Tuhan meskipun sebelumnya tak terfikirkan. Orang-orang yang sudah terbiasa bekerja keras sudah mafhum dengan keajaiban-keajaiban dimaksud.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline