Inilah sebuah kampung tematik dengan mengusung tema konservasi alam terutama daerah aliran kali (sungai kecil) yang banyak ditumbuhi jajaran Bambu. Isu lingkungan menjadi menjadi perhatian sebab dengan majunya pembangunan terkadang mengabaikan faktor kelestarian alam. Keberadaan Kampung Bambu Mewek ini sebagai upaya penyadaran sekaligus "kritik" atas kondisi lingkungan tersebut.
Saat ini tidak saja Kali Mewek, beberapa daerah aliran sungai yang lain juga abai terhadap lingkungan. Bangunan dibuat serampangan, bahkan tidak menyisakan lahan dipinggirnya yang seharusnya menyisakan 7 meter. Akibatnya saat ini bisa ditebak banyak pula bangunan atau yang mengalami longsor dibibir sungai.
Kali Mewek sendiri sudah ada sejak zaman dahulu, bahkan sebelum Kerajaan Singosari berdiri. Kali Mewek tentu tidak lepas dari legenda Ken Dedes yang asalnya dari Polowijen, daerah yang tidak jauh dari Tunjungsekar. Menurut cerita turun-temurun istilah mewek bisa diartikan menangis. Saat Ken Dedes diculik Tunggul Ametung, meronta-ronta dan menangis ketika berada di kali itu.
Versi lain penamaan mewek ada yang menyatakan bahwa pada zaman kolonial para pejuang melawan penjajahan dengan menggunakan bamboo runcing. Dan pernah suatu kejadian dengan perlawanan yang sengit para pejuang banyak yang gugur, dan membuat kali menjadi berwarna merah karena darah. Keadaan itu yang membuat rasa sedih bagi para rekan dan kerabatnya.
Saat ini sepanjang Kali Wewek akan diupayakan untuk dikonservasi kembali, mengingat masifnya pembangunan terutama perumahan. Kali Mewek cukup menjadi perhatian besar karena juga melintasi perumahan elit Riverside yang terdapat Hotel Harris nya. Melalui keberadaan kampung Bambu ini diharapkan Sepanjang Kali Mewek untuk dapat menjadi pada posisi awal, dengan rimbunnya tanaman Bambu.
Untuk menuju kampung ini bisa melalui tiga akses dari arah Jalan Sukarno-Hatta (Tugu Pesawat) menuju Jalan Ikan Tombro. Bisa juga melalui Jalan Ahmad Yani dari Polowijen, dan dari Karangploso yang bertemu di Jalan Ikan Tombro Barat. Dan tiap jalan akses masuk ditandai dengan gapura hiasan Bambu sebagai pintu gerbang menuju kampung ini.
Sebuah kampung yang berdiri dari pengembangan kampung tematik yang selanjutnya mengikuti Festival Rancang Malang 2016 yang diselenggarakan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bapedda) kota Malang bersama Radar Malang. Yang kemudian mendapat apresiasi juara 1. Saat ini kampung bambu dalam tahap pembentukan jati diri dalam lingkup RW 4 dengan seluruh RT di dalamnya (RT 1-11) Kelurahan Tunjungsekar Kecamatan Lowokwaru.
Ide membangun kampung Bambu ini berawal dari pengamatan dosen arsitektur ITN Malang -sekaligus inisiator- Ir. Budi Fathony, MTA, tentang kali Mewek khususnya dan bantaran sungai pada umumnya yang banyak tidak mempertimbangkan kelestarian lingkungan. Ia juga mengajak para mahasiswa untuk melakukan observasi menyikapi keadaan ini sekaligus untuk dapat memberi kajian solusinya.
Dipilihnya kali Mewek tidak lepas dari keberadaan kampus ITN yang berada di Tasikmadu Karangploso, yang jaraknya tidak terlalu jauh dengan kawasan kali Mewek. Keberadaan Bambu yang secara alami seharusnya bisa menjaga kelestarian bantaran kali menjadi terpinggirkan karena masifnya pembangunan. Ide konservasi lingkungan kemudian diangkat, yang selanjutnya mendapatkan dukungan dari kepala Kelurahan Tunjungsekar. Peran masyarakat pun perlu diberdayakan, maka pembentukan Kampung Tematik Bambu ini bisa menjadi gerakan yang efektif.
Kawasan RW 4 cukup luas dengan kondisi tata ruang wilyah yang beragam. Tak hanya ada keberadaan kampung, namun juga kumpulan rumah dalam bentuk komplek (perumahan), baik yang sudah lama ataupun baru dibangun. Masih nampak pula area persawahan yang terbentang tidak terlalu luas pada sisi dalamnya.
Bamboo Mewek Park (BMP) sebagai ikon