Tulisan pada bagian pertama sebelumnya lebih menyajikan keunikan ponpes "Masjid Tiban' dari segi bangunan dan pengajaran santri. Untuk tulisan kali ini lebih menyoroti aspek kegiatan ekonominya, baik di luar dan (terutama) di dalam pondok yang berada di Sananrejo Turen ini. Begitu banyaknya pengunjung terutama rombongan luar kota membuat geliat ekonomi bergulir di masyarakat sekitar pondok.
Bus ukuran besar atau sedang biasa dipakai oleh rombongan dengan kapasitas besar kerap berdatangan. Keberadaan beberapa lahan parkir yang luas berada di sepanjang jalur utama menjadi nilai ekonomis bagi warga sekitar. Demikian pula dengan dibukanya aneka kios yang berjualan makanan, buah-buahan, ataupun oleh-oleh ringan lainnya. Walaupun tak berhubungan langsung dengan pihak pondok, warga begitu "kreatif" dalam mengambil peluang ekonomi yang berjalan secara alami.
Aneka toko dan kios di lantai 7 dan 8
Di dalam gedung utama pondok bisa dikunjungi dengan bebas oleh para tamu. Akan ditemui eksterior dan interior yang unik dan mencolok, dan bisa juga disebut instagramable. Akan juga dijumpai kolam renang kecil serta kebun binatang mini yang berada di sisi luar bangunan. Ada sekitar sembilan lantai yang bisa dikelilingi oleh para pengunjung. Petunjuk arah cukup jelas hendak ke mana beberapa ruangan untuk dituju.
Yang menarik adalah yang berada di lantai 7 dan 8, yang mana ada geliat perekonomian di sana. Pada lantai 7 berisi beberapa toko yang menjual aneka busana, souvenir, makanan, serta swalayan mini. Isinya pun cukup lengkap dan tertata rapi dengan lantai yang bersih, pengunjung pun diharapkan melepas alas kakinya. Dan pada sisi sampingnya tersedia toilet dan jajaran tempat duduk bagi pengunjung yang ingin nongkrong.
Untuk masalah harga barang yang dijual cukup standar, hampir sama dengan toko yang lain. Dan dari sekian banyak pengunjung tentu juga tidak ingin pulang dengan tangan kosong. Maka beberapa toko ini ramai pembelinya. Untuk yang di lantai 7, semua toko milik pondok yang kemudian dikelola dan dijalankan oleh para santri baik laki-laki dan perempuan. Dan beberapa toko ada yang tenaga kerjanya diperbantukan dari unsur warga (non santri).
Di lantai 8 juga ada kegiatan ekonomi dengan sedikit perbedaan seperti dari lantai 7. Di lantai 8 tidak terlampau luas yang berisi beberapa kios yang berukuran lebih kecil. Dan untuk pengelolaannya lebih diserahkan ke warga, dengan skema bagi hasil dengan pihak pondok. Untuk barang yang dijual hampir sama seperti yang berada di lantai 8. Di lantai ini juga ramai pengunjung baik sebagai pembeli ataupun sekadar melihat-lihat ataupun numpang lewat menuju lantai 9.
Ada yang perlu diperhatikan dalam kegiatan ekonomi di lantai 7 dan 8 ini. Yaitu segala aktivitas akan dihentikan ketika adzan mulai masuk sampai kegiatan sholat itu selesai. Suasana semacam ini mirip yang terjadi di kota suci Makkah dan Madinah, yang membagi dengan tegas kapan waktu ibadah (ritual) dan aktivitas lainnya.
Tersedia warung makanan dan pujasera
Berkeliling bangunan dan kompleks pondok tentu menguras energi. Dan tidak perlu khawatir kelaparan ataupun kehausan. Di kompleks pondok ini tersedia beberapa warung makanan. Dan di sudut lebih ke dalam kompleks pondok juga tersedia pujasera. Menu yang disuguhkan pun hampir sama dengan yang ada di luar pondok. Seperti bakso, mie, tahu telur, ataupun rujak. Untuk harganya pun juga standar tidak jauh berbeda yang ada di luar, dan pengunjung pun tak perlu khawatir untuk mampir.
Untuk pengelolaannya, warung makanan dan pujasera ini ditangani oleh para santri. Dari beberapa kios di pujasera juga terlihat menu yang sama. Namun itu bukan merupakan bentuk persaingan. Suatu bentuk kesadaran bahwa semua ada rezekinya masing-masing untuk dikunjungi. Jika mengacu pada tujuan untuk menjadi santri tentu bukanlah materi yang dicari, kegiatan berjualan merupakan "bonus" tersendiri daripada menghabiskan waktu luang untuk urusan yang tidak berguna.