Lihat ke Halaman Asli

Hery Supriyanto

TERVERIFIKASI

Warga net

Amien Rais, Produk Muhammadiyah yang Anomali?

Diperbarui: 18 November 2017   12:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salah satu buku yang berisi pikiran bernas Amien Rais sebelum era reformasi (1998). Dok pribadi

Jika kita menonton film Sang Pencerah akan sedikit banyak tahu tentang kiprah Kiai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Pada masa itu Yogyakarta di bawah Kesultanan Yogyakarta yang berkelindan dengan kekuasaan kolonial Hindia Belanda. Kaum pribumi yang mayoritas beragama Islam berada pada kondisi keterbelakangan baik secara ekonomi dan sosial. Melawan kolonial dengan perlawanan fisik banyak yang gagal, akhirnya kaum pergerakan mengambil siasat lain dengan organisasi.

Kiai Ahmad Dahlan fokus pada hal yang substansi dan mendasar. Bergerak pada bidang pada bidang keagaamaan, sosial, pendidikan, dan kesehatan. Masalah politik Kiai Ahmad Dahlan tidak terlihat begitu intens. Tantangan justru dari dalam sendiri. Upaya berpikir dan bertindak modern banyak ditentang. Tuduhan kafir pun sering disematkan karena meniru Belanda yang dianggap kafir dan sekaligus penjajah.

Terlihat pula hubungan dengan Kesultanan dan Sultan begitu baik, demikian pula dengan pemerintah kolonial. Mengacu pada usungan kemodernan yang dibawanya jika dipaksakan akan timbul konflik. Kesultanan berbentuk kerajaan yang kental dengan budaya Jawanya. Kiai Ahmad Dahlan tidak pernah mengutak-atik masalah itu dan relatif bisa bekerja sama dengan pemerintah. Singkat cerita akhirnya Muhammadiyah bisa memanen itu semua saat ini. Ribuan sekolah mulai TK sampai perguruan tinggi tersebar di seluruh nusantara. Begitu pula dengan Rumah Sakit dan panti asuhan.

Puncak ketokohan kader bisa dianggap ketika menduduki jabatan ketua umum, yang merupakan amanah yang diberikan anggotanya. Sampai saat ini setidaknya ada tiga mantan ketua umum PP Muhammadiyah yang masih hidup yaitu Amien Rais (1995-1998), Syafii Maarif (1998-2005), dan Din Syamsudin (2005-2015). Di antara ketiganya itu satu yang selalu menjadi sorotan publik yaitu: Amien Rais.

Dapat dimaklumi Amien Rais sampai saat ini begitu populer sebab masih mengikuti politik praktis. Rupanya Amien Rais belum bisa meninggalkan dunia yang selama ini digelutinya dan pernah membawanya menjadi  ketua umum PAN dan Ketua MPR RI. Belum "pensiunnya" Amien Rais dalam dunia politik, membuatnya sepak terjangnya kerap diwarnai dengan ucapan atau tindakan tertentu menimbulkan pro-kontra. Tanggapan pun beragam, cibiran dan makian yang merupakan konsekuensi yang harus dalam dunia politik pun didapati Amien Rais.

Masih berkiprahnya Amien Rais di dunia politik ini banyak disesalkan berbagai pihak. Sebagai tokoh nasional harusnya Amien Rais bisa menempatkan diri sebagai tokoh bangsa yang mengayomi semua golongan. Dari jejak digital bisa diihat sepak terjang Amien Rais selama ini, terutama masalah pembubaran HTI oleh pemerintah. Amien Rais terkesan membela HTI, suatu yang bertolak belakang dengan "adiknya" NU (terutama Ansor dan Banser) yang menyetujui pembubaran dan mendukung langkah pemerintah.

Sudah banyak diketahui juga bahwa HTI merupakan organisasi yang menyusung khilafah. Walaupun cita-citanya utopis, sepak terjangnya selama ini cukup mengkhawatirkan karena tidak sesuai dengan Pancasila dan Demokrasi. Sikap Amien Rais itu sungguh disayangkan mengingat ia pernah menjadi ketua MPR RI (1999-2004). Seharusnya Amien Rais itu lebih cenderung mempertahankan empat pilar MPR RI (Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, UUD 1945) yang saat ini gencar disosialisasikan ke segala masyarakat yang berada dalam kondisi krisis kebangsaan.

Sebagai tokoh bangsa apa yang terjadi pada Amien Rais ini merupakan suatu anomali. Dalam arti suatu keanehan karena output yang harusnya terjadi  malah melenceng dari Muhammadiyah sebagai gerakan modern yang mengusung amar maruf nahi mungkar. Sedikit aneh rasanya ketika ia menolak Ahok yang dikenal berani mewujudkan pemerintahan yang bersih seperti yang diungkapkan Buya Syafii. Jika alasannya Ahok berbicara kasar, tetapi Amien Rais begitu "lembut" kepada Rizieq Shihab padahal sama juga pernah berkata kasar. Untuk yang satu ini Amien Rais yang paling tahu alasan sebenarnya, dan itu yang perlu diklarifikasi lebih lanjut.

Kenangan Amien Rais saat era reformasi (1998). Foto : merdeka.com

Sepak terjangnya terlihat sudah kehilangan daya analisis seperti pada dunia akademis. Argumen yang dilontarkanya begitu lemah tidak memampakkan rasional yang begitu kuat seperti tradisi Muhammadiyah. Yang terjadi malah argumen yang didasari atas suka dan tidak suka. Amien Rais tidak seobjektif seperti dahulu ketika masih di dunia kampus.  

Jika mengingat apa yang pernah dilakukan Kiai Ahmad Dahlan akan sungguh jauh berbeda. Konfrontasi dengan pemerintah atau pihak lain dilakukan seperlunya saja dengan penuh siasat yang jitu. Toh, pada akhirnya Muhammadiyah bisa bergerak luwes pada sektor sosial, pendidikan, dan kesehatan. Sikap luwes juga pernah ditunjukkan oleh ketua umum Muhammadiyah lainnya K.H. A.R. Fachruddin (1968-1990) yang begitu arif menghadapi pemerintah (baca: Presiden Suharto). Seperti penerimaan asas tunggal Pancasila yang akhirnya bisa diterima Muhammadiyah dengan baik.

Apa yang terjadi Amien Rais pada saat ini jauh dari dugaan dibandingkan Amien Rais pada era awal 1990-an. Sebagai seorang akademisi dan intelektual, Amien Rais dulu begitu jernih dalam menganalisa sebuah persoalan. Jika kita membaca buku atau tulisannya pada era itu, ulasannya begitu akademik dan rasional. Dibandingkan sikap Amien Rais saat ini yang lebih cenderung berat pada urusan politik. Kita tahu bahwa politik penuh siasat yang kadang kabur antara salah-benar, baik-buruk.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline