Lihat ke Halaman Asli

Hery Supriyanto

TERVERIFIKASI

Warga net

Kegetiran Banda, Rempah Pala di Masa Kejayaan dan Kesuramannya

Diperbarui: 15 Agustus 2017   23:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Print Screen Youtube Lifelike Pictures

Setelah menonton film "Banda The Dark Forgotten Trail" hati ini merasa trenyuh, mendapati suatu fakta yang begitu suram. Kepulauan Banda, dalam ini penduduknya dari masa lampau dan saat ini tetap pada suatu kegetiran. Tidak ada kurang yang dari Banda, alamnya yang indah dan penghasil rempah utama yaitu pala. Tetapi semua itu hanyalah "kutukan" bagi Banda, pala di saat masa jayanya tidak pernah memberikan kemakmuran bagi penduduknya bahkan kisah tragis yang didapat. Di masa suramnya, pala seakan dilupakan. Para petani tidak bisa mendapatkan hasil jerih payahnya, harga bisa dipermainkan oleh pala pengepul.

Suatu film yang hadir dengan tidak biasanya di gedung bioskop, ber-genre dokumenter. Maka fakta dan riset yang ketat adalah sebuah keniscayaan. Sebuah film yang menampilkan sejarah Banda dari masa lampau hingga saat ini. Gaya penuturan beberapa tokoh yang diwakili petani pala, sejarawan, pelaku usaha, serta masyarakat setempat. Perjalanan Banda ditilik satu persatu dari masa ke masa, yang dikemas visual yang bagus dengan pembacaan narasi oleh Reza Rahadian (bahasa Indonesia) dan Ario Bayu (bahasa asing).

Pada abad pertengahan rempah-rempah merupakan komoditas yang berharga. Pala salah satu yang paling bernilai tinggi. Kondisi pada saat itu pala merupakan bahan untuk pengawet karena belum ditemukannya mesin pendingin. Pala begitu sangat dibutuhkan di eropa yang harganya melebihi emas. Para pemasok dikuasai oleh pedagang Arab dengan bumbu pala didapatkan dari suatu daerah yang penduduknya kanibal, dan pedagang Cina yang menyembunyikan pala dibalik sutera.

Bangsa eropa pun penasaran ingin langsung mendapatkan dari sumber aslinya. Akhirnya dilakukan ekspedisi mengarungi dunia yang dimulai bangsa Spanyol dan Portugis yang ingin juga mematahkan monopoli pedagang Arab dan Cina. Dari ekspedisi ini yang kemudian terkenal menjadi jalur rempah yang disusul jalur sutera kemudian. Tujuannya adalah mencari pala yang berada di kepulauan Banda yang pada saat itu satu-satunya yang menghasilkan buah emas ini.

Akhirnya bangsa Portugis sampai juga di Banda, yang kemudian Spanyol. Rupanya bangsa eropa ini tidak sekadar berdagang saja, ada faktor lain yaitu kekuasaan dan keserakahan. Sebelumnya kepulauan Banda dalam damai dan tenteram, penduduk Banda berhubungan baik dengan para pedagang dari India, Arab, Cina, dan Persia. Beda dengan bangsa eropa yang ingin menguasai pala dan rempah-rempah lainnya. Yang akhirnya jalur kekerasan pun dilakukan.

Perlawanan pun dilakukan, karena kalah peralatan dari Portugis yang lebih modern akhirnya Banda pun takluk. Dan rupanya bangsa eropa lainnya seperti Belanda dan Inggris pun melakukan ekspedisinya ke penjuru dunia yang kemudian melakukan kolonisasi. Belanda dengan VOC nya begitu terpesona dengan Banda yang akhirnya berperang dengan Portugis dan Inggris yang juga menguasai pulau disekitarnya. Belanda berhasil, kepulauan Banda pun dikuasainya baik secara peperangan ataupun perjanjian tukar guling daerah jajahan.        

Pada tahun 1600-an, ketika zaman Jan Pieterszoon Coen menjadi gubernur Hindia Belanda menaklukkan Banda begitu brutal. Ia rupanya mendendam, yang pada saat menjadi sersan dan berperang melawan penduduk Banda, hasilnya bisa dipukul mundur. Saat jadi gubernur itu ia lampiaskan ambisinya itu untuk menaklukkan total. Penduduk Banda banyak yang dibantai, beberapa lagi melarikan diri selebihnya kemudian banyak yang dijadikan budak. Banda menjadi terkoyak, penduduknya tinggal sedikit yang beberapa lagi tercerai-berai.


VOC tetap menjadikan Pala sebagai komoditas utama. Pala oleh VOC dikembangkan menjadi perkebunan. Untuk memenuhi tenaga kerjanya maka didatangkan budak dan tenaga kontrak dari daerah kolonal Belanda lainnya seperti Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Dari para pekerja perkebunan ini kemudian menetap di Banda, saling berbaur satu sama lain termasuk penduduk Banda. Perkawinan antar suku pun terjadi, yang ini kemudian menjadikan Banda sebagai multi kultur dan etnik. Disinilah kemudian Banda lambat laun menjadi sebuah miniatur Indonesia berada, semua saling menghormati dalam perbedaan.

Tidak itu saja di masa kolonial, kepulauan Banda dipakai sebagai tempat pembuangan tokoh-tokoh pergerakan nasional, yang beberapa diantaranya adalah Moh Hatta dan Sutan Syahrir. Kepulauan Banda dipilih karena tempatnya terpencil, yang akan begitu mudah bagi pihak kolonial untuk mengawasi para tokoh yang diasingkan itu. Di tempat ini pulalah penggagasan sebuah negara disusun yang akhirnya menjadikan sebuah negara merdeka benama Indonesia.

Disrupsi pun terjadi, mesin pendingin ditemukan. Pala yang mulanya sebagai bahan untuk pengawet tidak diperlukan lagi. Kondisi selanjutnya bisa ditebak, pala akhirnya terpinggirkan dan tercampakkan. Kepulauan Banda yang pada masa jayanya begitu diperebutkan, lambat laun begitu juga palanya tidak menjadi daya tarik tersendri. Masih beruntung kita bisa melihat jejak kejayaan pala masih ada dengan adanya beberapa benteng peninggalan Portugis dan Belanda, yang merupakan saksi bisu yang kondisi saat ini tidak begitu terawat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline