Hanya ada tiga tokoh mantan ketua PB HMI yang cukup populer di masyarakat yaitu: Nurcholish Madjid, Akbar Tanjung, dan Anas Urbaningrum. Dari ketiganya mempunyai kesamaan dari beberapa segi: berintelektual, cerdas, dan berpenampilan kalem. Dari beberapa kesamaan itu rupanya tidak berdampak pada kesamaan nasib dan perjalanan hidup.
Nurcholish Majid yang sudah almarhum dikenal dan dikenang sebagai guru bangsa, akdemisi, cendekiawan muslim yang cukup disegani. Karya dan pemikirannya banyak menjadi rujukan terutama dalam masalah prulalisme dan sekularisasi. Pada tahun 70-an ia dianggap tokoh kontroversial karena melontarkan jargon “Islam Yes, Partai Islam No”. Namun dikemudian hari jargon itu cukup relevan pada situasi saat ini. Partai Islam tidak mendapat dukungan yang signifikan dari masyarakat, namun bukan berarti Islam terpinggirkan, bahwa Islam teraplikasi pada pengertian yang luas dan universal (rahmatan lil alamin).
Cak Nur –biasa dipanggil- bernah berkecimpung dalam dunia politik dalam pemerintahan dengan menjadi ketua Tim 11 yang bertugas menverifikasi partai politik untuk dapat menjadi peserta pemilu 1999. Tugas yang cukup berat dan sarat kepentingan itu dapat diselesaikan dengan cukup memuaskan yaitu dengan minimnya persoalan yang timbul darickeputusan yang dibuat Tim 11 itu. Ia pun pernah mencoba mencalonkan diri menjadi presiden melalui konvensi Partai Golkar tapi kandas di tengah jalan karena selain visi dan misi ada syarat yang tidak dipunyainya: “gizi”, karena ternyata memang membutuhkan ongkos politik yang cukup besar. Sampai dengan meninggalnya, Cak Nur masih dikenal sebagai tokoh yang bersih dan berintegritas tinggi, sebagai tokoh pembaruan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia serta guru bangsa yang selalu dikenang.
Dua nama Akbar Tanjung dan Anas Urbaningrun dalam sepak terjang perjalanan politiknya hampir memiliki kesamaan. Yaitu sama-sama pernah dan sedang menjadi ketua umum partai besar, Akbar di Partai Golkar dan Anas di Partai Demokrat.Akbar pernah menduduki sejumlah menteri dari jaman Soeharto dan Habibie, dan ketua DPR pada jaman Gur Dur Dan Megawati. Sedangkan Anas pernah menjadi anggta Tim 11 dan KPU serta ketua Fraksi Partai Demokrat di DPR.
Di samping itu keduanya sama-sama tesangkut perkara yang paling memalukan dan di musuhi di negeri ini: penyalahgunaan wewenang dan korupsi. Akbar Tanjung tersangkut masalah penyelewengan dana Bulog sebesar Rp. 40 milyar, yang pada akhirnya dijadikan tersangka, kemudian terdakwa dan akhirnya terpinana. Di tingkat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Akbar dinyatakan secara sah dan menyakinkan bersalah dengan hukuman tiga tahun. Kemudian banding di Pengadilan Tinggi DKI vonis menguatkan putusan PN selama 3 tahun. Di tingkat kasasi MA, rupanya Akbar bernasib baik, MA menyatakan ia tidak bersalah dan bebas dari segala tuduhan dan sifatnya berkekuatan hukum tetap. Untuk kesalahan kasus Bulog ditimpakan kepada kolega sesama di kabinet dulu : Rahardi Ramelan.
Ketika menjadi Ketum Partai Golkar Akbar berhasil membawa partai yang dipimpinnya ini menjadi kekuatan yang masih diperhitungkan, dengan menempati posisi kedua di bawah PDI-P pada pemilu 1999. Ia pernah mengajukan diri menjadi calon presiden melalui konvensi Partai Golkar. Walau menjadi ketua umum pada proses pemilihan ia kalah dari peserta konvensi lainnya, Wiranto. Pada pencalonan periode berikutnya rupanya nasib tidak berpihak kepadanya, ia kalah dari –saat itu- Wapres Jusup Kalla dalam memperebutkan Ketua Umum Partai Golkar. Rupanya ia cukup legowo, ia tidak meninggalkan Partai Golkar atau membentuk partai baru walau pada saat itu posisinya boleh dibilang dipinggirkan dalampartai. Banyak orang menduga karir politiknya akan tamat, tanpa diduga ia muncul kembali dalam pertarungan ketua umum Partai Golkar berikutnya dan menang melawan kubu Surya Paloh. Aburizal Bakrie sebagai ketua umumnya sedangkan ia sebagai ketua Ketua Majelis Pertimbangan Partai DPP Partai Golkar.
Bisa jadidi posisi DPP Partai Golkar saat ini adalah perjalanan politik terakhirnya. Selain faktor usia, cukup rasanya berkiprah di pentas politik nasional. Akbar Tanjung memang tokoh politik yang cukup fenomenal. Hampir semua presiden di republik ini pernah bersinggungan dengannya mulai dari Presiden Sukarno sampai presiden saat ini SBY. Ia mampu melewati semua badai yang menerpanya, permainan politiknya cukup cantik dan dihadapinya dengan tenang.
[caption id="" align="aligncenter" width="615" caption="tabir gelap yang dulu hinggap…lambat laun mulai terungkap =====apa yang tersembunyi…di balik manis senyummu===== apa yang tersembunyi …di balik bening dua matamu__________Penggalan syair Antara Aku, Kau, dan Bekas Pacarmu. Iwan Fals"][/caption]
Karir Anas Urbaningrum dalam dunia politik cukup lancar. Dalam usia yang relatif muda ia sudah duduk di anggota KPU, ketua Fraksi Partai Demokrat di DPR dan selanjutnya menjadi Ketum DPP Partai Demokrat dengan menyisihkan tokoh-tokoh yang cukup senior. Dan ia digadang-gadang untuk menjadi presiden di masa datang. Sama seperti Akbar Tanjung, Anas dituduh melakukan penyelewengan dana negara. Adalah Muhammad Nazarudin mantan kolega dan bendahara Partai Demokrat yang menjadi terdakwa kasus suap terkait pembangunan Wisma Atlet Sea Games melontarkan tuduhan bahwa Anas terlibat dalam kasus tersebut. Kasus tersebut masih ditangani KPK dan sampai tulisan ini ditulis masih belum ada berita keterlibatan Anas, walau opini publik mempercayai bahwa ketum PD itu terlibat.
Terus bagaimana nasib Anas selanjutnya?. Meniru Nurcholish Madjid jelas tidak mungkin. Serupa Akbar Tanjung, bisa jadi. Karena “nyanyian” Nazarudin dan gebrakan anggota KPK baru bisa jadi Anas jadi tersangka, kemudian terdakwa. Ia akan diadili di Pengadilan Tipikor tetapi akan dinyatakan bersalah, nanti dulu. Selama ini memang kasus yang ditanganani KPK hampir semuanya dinyatakan bersalah tetapi peristiwa vonis bebas yang diatuhkan Pengadilan Tipikor Bandung terhadap Wali Kota nonaktif Bekasi Mochtar Mohamad pada 11 oktober lalu menjadi preseden buruk dalam pemberantasan korupsi. Pembebasan para koruptor di pengadilan tipikor juga berlangsung di beberapa daerah.
Dalam preseden buruk ini dalam konteks Anas bisa saja terjadi. Ia tetap di ajukan kepengadilan lalu dinyatakan tidak bersalah karena tidak cukup bukti maka selamatlah ia, kasus Akbar Tanjung terulang kembali. Tetapi jika Anas dinyatakan bersalah, publik bisa saja merasa lega karena orang besar mampu dijerat, bagi lawan politiknya jelas merasa senang. Tetapi bagi Anas dan Partai Demokrat ini merupakan sebuah tragedi. Akibatnya kasus ini akan merembet kemana-mana termasuk ke istana karena jelas ia tidak bekerja sendiri, terkecuali ia bersedia menanggung sendirian. Yang jelas karir politiknya akan habis. Suatu perjalanan hidup yang anti klimaks. Dalam perjalanan karir cepat meroket sangat tinggi tetapi cepat pula jatuhnya. Suatu nasib yang paling menyedihkan diantara mantan ketua PB HMI yang ada, dan juga bagi kaum muda. Patut disayangkan memang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H