Lihat ke Halaman Asli

Hery Supriyanto

TERVERIFIKASI

Warga net

Modis Kompasiana Risma: Mengenal Pemimpinnya Wong Cilik

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13958510511299930119

[caption id="attachment_328818" align="aligncenter" width="512" caption="Dok pribadi"][/caption]

Wong cilik yang sering dipresepsikan sebagai kalangan yang merana, susah (baca:miskin), tertindas, dan terpinggirkan (marjinal). Mereka selalu menjadi isu “jualan” oleh para bakal calon pejabat negara (eksekutif dan legislatif) untuk memperoleh simpati. Tapi pada kenyataannya –setelah mereka jadi- tidak seindah janji-janji yangpernah dikataka, hanya sekedar menjadi omong kosong. Wong cilik tetap pada kondisi asalnya tanpa ada perubahan berarti, para pemimpinnyabisa jadi lalai atau justru “bingung” menyelesaikan berbagai persoalan wong cilik yang begitu rumit dan kompleks.

TetapI tidak semua figur yang telah menjadi pemimpin yang dipilih melalui pemilu langsung, tidak memiliki komitmen yang telah dijanjikan dahulu, salah satunya adalah walikota Surabaya Tri Rismaharini. Melalui KOMPASIANA MODIS (Monthly Discussion) yang dilaksanakan di Ballroom Gedung Kompas lantai 6 Surabaya pada Sabtu lalu (22/3), Risma memaparkan berbagai upaya dan kebijakan yang telah menorehkan berbagai penghargaan baik di dalam atau luar negeri. Dengan dipandu AdminKompasiana Iskandar Zulkarnaen acara ini berlangsung serius, santai, dan terselip pula canda tawa. Tema yang diangkat adalah “Surabaya di Tangan Risma”.

Seperti yang sudah banyak diketahui, Surabaya adalah kota terbesar kedua setelah Jakarta yang boleh dikatakan semua elamen masyarakat berkumpul di situ, dari konglomerat sampai yang melarat. Sebagai konsekwensi kota besar, Surabaya tidak saja menampilkan gemerlapan kota modern yang elok, tetapi dibalik itu juga menyisakan beberapa fenomena sosial di masyarakat diantaranya adalah masalah wong cilik.Ada beberapabagian wong cilik yang termasuk termajinalkan bahkan dianggap hina dan “sampah masyarakat”. Mereka adalah para gelandangan, orang gila, waria, dan Pekerja Seks Komersial (PSK). Tidak banyak pihak baik ormas, LSM, ataupun warga sendiri yang peduli terhadap mereka.

Adalah Risma sebagai pemimpin tertinggi di Surabaya berupaya menyentuh para kalangan yang termajinalkan itu. Langkah kongkrit yang dilakukan adalah seperti yang sudah banyak diberitakan bahwa ia akan menutup lokalisasi –konon terbesar di asia tenggara- Dolly pada tahun ini juga. Penutupan kawasan prostitusi ini menyusul kawasan lain yang telah sukses ditutup, Dupak Sari pada Mei tahun lalu. Yang saat ini sudah beralih fungsi dan profesi menjadi kawasan konveksi yang pengrajinnya dikelola para mantan PSK. Yang pada awalnya pemkot menyewakan bangunan hanya satu, saat ini sudah berkembang menjadi empat kontrakan.

Penutupan kawasan prostitusi ini didasarkan keprihatinan Risma yang begitu miris bagi para pelaku didalamnya. Setelah turun ke bawah dan mengetahui langsung keadaan sesungguhnya bahwa banyak korban didalamnya terutama bagi anak-anak usia sekolah. Mereka banyak menjadi korban perdagangan anak (trafficking), yang menjadi keprihatinan Risma adalah ada teman yang tega “menjual” temannya. Selain itu Risma juga mendapatkan ada perempuan yang sampai usia tuanya masih berprofesi sebagai PSK.

Setelah ditelusuri mendalam ternyata perempuan tua itu tidak dapat lepas dari jeratan profesi itu karena sikapnya yang konsumtif dan celakanya lagi masih terjerat dengan rentenir. Dan yang mengejutkan Risma, bahwa pelanggannya adalah dari kalangan pelajar yang masih sekolah yang hanya membayar dibawah sepuluh ribuan. Kondisi inilah yang membukakan mata bahwa kawasan prostitusi banyak korbannya terutama usia anak sekolah baik profesinya (perempuan) ataupun pemakainya (laki-laki).

Kondisi ini bagi Risma tidak dapat dibiarkan dan mereka harus diselamatkan. Dan dengankebulatan tekatnya dan dukungan para kiai untuk menutup seluruh kawasan prostitusi yang ada di Surabaya. Pada awalnya ada pertentangan dari para PSK, mucikari dan masyarakat sekitar yang berkepentingan dengan urusan ekonomi tentu ada. Tetapi karena Risma dapat menyakinkan mereka dan memberi solusi yang kongkret maka pertentangan ini tidak mendapat perlawanan keras bahkan lambat laun mendapat dukungan.

Susahnya mengurus wong cilik

Seperti kota besar lainnya, Surabaya juga menyisakan bagi kaum marjinal itu, dan ternyata jumlahnya cukup banyak yang harus ditangani. Risma menyatakan begitu beratnya mengurusi kalangan itu, bahwa mereka selain miskin harta (sosial) juga miskin mentalnya (intektual). Risma bercerita bahwa ia pernah menemukan lansia yang miskis, Risma bermaksud membawanya ke panti agar dapat mendapat perawatan yang memadai. Namum lansia itu menolak dengan alasan bahwa keadaan ini adalah sudah menjadi nasibnya dan menyatakan hidup di dunia hanyalah sementara (mampir ngombe).

Risma juga menyatakan ketika blusukan menemukan anak yang berjualan compact disk (CD). Ia memawarinya untuk sekolah, namun bapaknya tidak mau dengan alasan biaya. Ia pun menulis surat kepada orang tuanya agar anaknya dapat bersekolah, bukannya disambut dengan baik yang terjadi justru surat itu dirobek-robek. Namun dengan pendekatan khusus dan jaminan dari Risma akhirnya anak itu pun dapat bersekolah.

Itikat baik dari Risma kadang tidak mendapat tanggapan baik dari mereka karena begitu putus asa dan rasa tidak percaya akan janji-janji pemerintah -di masa lalu- yang pernah dicanangkan yang seringkali banyak yang tidak terealisasi.Risma pun menyadari kondisi itu karena memang mereka selama ini terlalu lama menderita dan sering dikecewakan, tidak ada program yang kongkret oleh aparatur pemerintah sebelumnya.

Sebagai pemimpin Risma menyatakan bahwa presepsi PNS harus diubah yang selama ini terkesan elitis menjadi melayani bagi semua elemen masyarakat. Reformasi birokrasi ia canangkan dengan memperpendek dan mempersingkat birokrasi, semua serba elektronik dan online sehingga menjadi transparan dan akuntabel. Risma sendiri yang mengawasi langsung kinerja bawahannya, mulai dari kepala dinas sampai personil di lapangan. senjata andalannya adalah Risma selalu membawa handy talky (HT) sebagai media komunikasinya.

Blusukan dan turun ke bawah sering ia lakukan untuk mengetahui kondisi sebenarnya. BiIa perlu ia tidak segan-segan memecat PNS walaupun itu dirasa sulit. Pendek kata bahwa Risma telah berhasil membawa Surabaya ke arah yang lebih baik karena dikelola dengan baik dan benar (good and clean governance). Maka tidak heran bila urusan pendidikan dan kesehatan bagi warga Surabaya tidak ada yang terlalu dirisaukan. Bagi keluarga tidak mampu, anaknya pun mampu bersekolah karena dijamin pemerintah, bahkan ada yang diberi beasiswa ke luar negeri. Pemkot Surabaya juga memberi beasiswa untuk menjadi pilot dan pramugari walaupun biaya yang dikeluarkan cukup mahal.

Layanan kesehatan pun tidak menjadi persoalan yang berarti, pemkot akan membiayainya bila mau ditempatkan di kelas tiga di rumah sakit. Pemkot juga turut membiayai layanan kesehatan bagi warga yang mengalami kondisi kesehatan yang berpotensi menjadi miskin. Salah satunya adalah membiayai cuci darah bagi para penderita gagal ginjal yang memang biayanya cukup mahal. Pemkot turut membiayainya kareana dikawatirkan pasien itu akan menjadi miskin bila ditanggung sendiri, dan itu yang tidakdiinginkan oleh Risma.

Selain itu pemkot Surabaya juga bisa memberi makan tiga kali sehari bagi para gelandangan, lansia, dan penyandang disabilitas. Anak nakal, penyandang kusta, dan orang gila pun tidak luput dari kepedulian Risma. Padahal jumlahnya cukup banyak sekitar 1300 orang dan kebanyakan bukan warga Surabaya, dan Risma tidak begitu mempermasalahkan. Ketika ditanya apakah nantinya angaran pemkot akan “jebol”?, Risma pun menjawab bahwa bila anggaran pemerintah dikelola dengan benar maka semua itu akan teratasi dan ada jalan keluarnya, dan Risma pun menambahkan itu ada doa dari orang gila. Penyakit sosial di Surabaya sudah mulai berkurang termasuk angka kriminalitas karena kesenjangan status sosial semakin tipis, dan semua warga mempunyai hak yang sama terutama pada pendidikan dan kesehatan.

Mengikuti Modis bareng Risma ini, dapat diketahui betapa berartinya Risma bagi para wong cilik yang begitu dimanusiakan. Ia pun mengakui memang betapa berat dan susahnya mengurus mereka namun bukan berarti tidak bisa. Acara ini juga menyentuh emosi menyisakan dengan meyisakan rasa kagum sekaligus haru terhadap sepak terjang Risma selama ini. Risma tidak saja menjadi malaikat bagi para kaum marjinal juga dapat menjadi inspirasi pagi para kepala daerah yang begitu kebingungan merelasikan janji-janjinya sewaktu kampanye akan mengurus wong cilik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline