Lihat ke Halaman Asli

Hery Supriyanto

TERVERIFIKASI

Warga net

Dengan Intuisi dan Ijtihat Politik dalam Memilih Caleg

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemilu legislatif (pileg) tinggal selangkah lagi. Inilah perayaan pesta demokrasi –boleh dibilang-terbesar di dunia bila merujuk pada jumlah penduduknya. Keran kebebasan berpolitik (asas LUBER) dan mekanisme yang sudah baik (asas JURDIL) dalam memilih di pileg 9 April nanti masih menyisakan rasa kegalauan dalam memilih. Urusan memilih ternyata tidaklah sederhana, pilihan memang banyak namun tidak membantu untuk menetapkan pilihan. Maka yang terjadi adalah sikap skeptis dan cuek terhadap pemilu nanti bahkan pada sikap yang ekstrem, menjadi golput.

Tidak dapat dipungkiri bahwa kebanyakan para pemilih mengalami masalah itu, tidak terkecuali saya sendiri. Hal itu dikarenakan kurangnya informasi para caleg yang juga kurang dikenal dan meyakinkan. Berbagai atribut seperti baliho, poster ataupun iklan di media massahanya dinilai tebar pesona, tidak ada rekam jejak yang jelas didalamnya. Layaknya orang jual kecap, menganggap dirinya nomer satu. persaingan tidak saja antar partai tetapi di internal partai sendiri juga gesekan antar caleg.

Kegamangan juga terjadi karena tidak ada keterikatan emosi dan ideologi terhadap partai. Terjadinya sikap seperti itu pada masyarakat diperparah lagi dengan sikap para politikus yang dengan mudah menjadi “kutu loncat” dari satu partai ke partai lain, berbeda ideologi lagi. Masyarakat akhirnya menganggap bahwa politik itu sekedar mengejar kekuasaan, tidak peduli jalan yang dilalui itu etis atau tidak.

Kurangnya informasi bisa terjadi karena para caleg kurang pula memberikan sosialisasi yang cukup gencar. Dan jika hal itu dilakukan akan menguras biaya yang cukup besar. Maka tidak heran para caleg yang maju adalah orang yang berduit atau mempunyai popularitas yang cukup tinggi yang –biasanya -diwakilkan oleh para pesohor (selebritis, pejabat, politikus lama) .

Para pemilih juga mengalami kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Mereka ada yang suka terhadap para figur yang maju tetapi tidak suka terhadap partai pengusungnya, belaku pula sebaiknya. Ada pula yang suka terhadap figur dan partainya tetapi sayang pilihannya itu tidak berada di dapilnya. Akhirnya kembali lagi bahaw pilihan yang disodorkan tidak ada yang menyangkut dihati karena tidak dikenal, yang sering diibaratkan orang bagai memilih kucing dalam karung.

Mengandalkan intuisi

Betapapun jeleknya pilihan yang ada, tetaplah ada yang terbaik dari yang terburuk itu. Bahwa pemilu ini harus kita sukseskan dengan partisipasi dari seluruh rakyat. Jika tidak ada hambatan yang berarti alangkah lebih baikknya tidak memilih jalan golput. Melalui pemilu ini kita diberi partisipasi untuk menentukan masa depan bangsa ini, maka pilihlah yang figur yang terbaik itu.

Cara yang dapat dilakukan adalah mengandalkan intuisi. Intuisi dipakai bila informasi yang diterima atau didapatkan sangatlah minim. Cara menentukan intuisi seperti yang ditulis pakar otak kanan, Ippho Santosa dalam bukunya 7 Keajaiban Rejeki. Ia menyatakan bahwa intuisi dapat berangkat dari empat titik tolak, yaitu: Natural, Rasional, Emosional, dan Spiritual. Bila dihubungkan dengan pileg nanti, maka dapat mengandalkan intuisi untuk memilih para caleg yang minim informasi, yang lebih tepatnya tidak dikenal.

Natural, biasanya ini ditentukan karena bawaan dari seseorang yang secara alami mempunyai kemampuan khusus. Karana sudah dari sononya seperti itu maka ia dapat dengan menentukan pilihan sesuai dengan kemampuan alaminya itu. Dan tidak semua orang memiliki kemampuan itu. Rasional, kita dapat memilih secara rasional para caleg itu dengan melihat rekam jejaknya, bila terlalu minim kita dapat melihat acuan dari visi misi partai pengusungnya. Termasuk konsekwensinya bila partai itu berkuasa, bisa pula acuan siapa yang menjadi presidennya nanti. Dan masih banyak pertimbangan rasional lainnya untuk dipakai sebagai acuan. Emosional, keterikatan emosional dapat bermacam-macam faktornya. Ada karena ideologi, agama, persaudaraan, atau kesamaan asal usul (tempat tinggal atau sukunya). Spritual, ini karena ada “bimbingan” dari Yang Maha Kuasadalam menentukan pilihan. Dengan terus menerus mendekatkan kepada Tuhan, dan atas nama Tuhan pula pilihan itu diambil sehingga nantinya dapat menetukan dengan mantap.

Sebagai contoh sederhana logika spiritual seperti ini yang pakai oleh saudara kita yang ada di Papua, bahwa menurutnya melalui biarlah Tuhan yang menentukan pilihan itu, Tempo.co. Besok tanggal 9 April waktunya kita mencoblos. Terserah kepada kita memilih dengan metode intuisi yang akan dipakai. Betapa beratnya pilihan itu, tetaplah kita harus menentukan pilihan itu. Tidak memilih bukanlah langkah bijak. Kita memilih dengan mantap dan berharap kepada Tuhan agar kita dipilihkan wakil rakyat yang tepat, sehingga tidak salah pilih.

Sekali lagi memilih bukanlah perkerjaan mudah. Dan kita harus memilih. Dalam pilihan itu memang bisa benar yang salah. Tidak ada salahnya kita melakukan ijtihat politik dalam pemilu nanti.Yang penting kita niatkan langkah dengan harapan untuk menuju keadaan yang lebih baik. Tuhan pun menghargai setiap pilihan kita, seperti yang yang tertulis dalam Hadist, bila pilihan itu benar akan memperoleh 2 pahala, dan bisa salah tetap akan memperoleh pahala 1. Selamat mencoblos.

Sumber gambar: http://cdn.pemilu.com/wp-content/uploads/2013/06/peserta.jpg

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline