Dalam obrolan dengan beberapa teman yang sudah pernah ke Singapura, mereka menyatakan kekagumannnya. Sebagai negeri kecil ternyata begitu besar dalam mengelola dunia pariwisatanya, singkat cerita secara profesional. Tidak heran pula banyak wisatawan -terutama dari Indonesia- yang berkunjung sana. Padahal untuk keindahan alam, negara kita jelas lebih unggul.
Walaupun saya tidak pernah ke Singapura, dengan mengunjungi beberapa tempat wisata di negara sendiri dapat ditarik kesimpulan bahwa harus diakui kita memang kalah segalanya dalam mengelolanya. Memang tidak semua daerah wisata dikelola dengan "buruk", beberapa sudah mengelolanya dengan baik.
[caption id="attachment_392389" align="aligncenter" width="386" caption="Salah satu tempat wisata yang dikelola secara modern dan profesional. Dok pribadi"][/caption]
Sekedar mengambil contoh seperti yang pernah saya amati, di Malang dan sekitarnya misalnya. Kota Batu yang selama ini menyatakan diri sebagai kota wisata, cukup berbenah dalam berbagai sektor baik tempat ataupun pelayanannya. Tempat wisata yang dikelola pihak swasta, terlihat banyak pengunjungnya. Tiket masuk yang area wisata tersebut boleh dibilang tidak murah, tetap saja banyak peminatnya.
Harga tiket yang tidak murah itu ternyata sebanding dengan fasilitas yang diberikannya. Pengunjung cukup puas apa yang disajikan pengelola itu. Tempatnya begitu nyaman, modern, bersih, serta banyak menampilkan ruang untuk ber-narsisria.
Cukup banyak destinasi wisata di Batu yang dikelola dengan baik, sebagai kota kecil –Batu- urusan kemodernannya tidak kalah dengan kota besar lainnya. Sebagai contoh wahana di Jatim Park 1 tidak kalah dengan Dufan yang ada di Ancol Jakarta. Kesan yang sama juga ditemukan di tempat yang lain (masih di Batu) seperti Jatim Park 2 (Museum Satwa dan Batu Secret Zoo), Museum Angkot serta yang lainya.
Di lain sisi ada wisata yang mengandalkan keindahan alam ternyata tidak banyak peminat, padahal tiket yang ditarik cukup terjangkau (bekisar 10 ribu sampai 30 ribu). Jika harus menyatakan alasan, maka jawaban sederhananya adalah karena pengelolaannya kurang baik kalau tidak mau disebut asal-asalan. Kita dapat merasakan sendiri fasilitas yang diberikan kurang memberikan rasa nyaman: toilet yang kurang terawat, jalan banyak rusak, sampah berserakan, banyaknya pedagang yang tidak tertata, serta kondisi yang kurang mengenakkan lainnya. Cukup bisa ditebak yang kurang dalam pelayanan itu –biasanya- dikelola oleh unsur pemerintah.
Orientasi profit dan pelayanan prima
Jika pariwisata ingin dijadikan industri, maka dalam pengelolaannya sah-sah saja jika ingin meraup untung. Toh hal itu juga dilepas melalui mekanisme pasar. Masyarakat (bawa: wisatawan) tentu akan memilih fasilitas yang baik terutama dalam kenyamanan. Bukankah tujuan berwisata pada dasarnya untuk menghilangkan penat serta bersenang-senang, urusan biaya –kadang- menjadi urusan belakangan.
Urusan mengelola keuanganbagi tempat wisata yang modern merupakan keniscayaan. Di sini hukum ekonomi berlaku, pengeluaran seminim mungkin dengan hasil yang maksimal. Untuk itu maka akan sejalan dengan pengelolaan yang baik dan berorientasi pada pelayanan, para wisatawan sebisa mungkin dibuat tidak merasa kecewa. Tiket yang-mungkin- mahal dapat terkompensasi bila pengunjung merasa puas.
Saya atau Anda yang pernah mengantar rombongan wisata akan mampu membedakan manapengelola yang bertindak profesional atau sekedar “asal-asalan” saja. Dari sudut pembelian tiket sudah kelihatan. Pada tempat wisata yang bonafit untuk diskon tiket sangatlah minim walau membawa rombongan yang jumlahnya lumayan. Aturan mereka sudah jelas, potongan pun ada paling tidak ada bonus tiket bila mencapai kuota yang ditetapkan (misal membeli 30 tiket dapat 1 tiket gratis).
[caption id="attachment_392391" align="aligncenter" width="386" caption="Salah satu cara agar tiket tidak dapat"]
[/caption]
Dan sangat jauh berbeda kondisinya bila yang mengelola “kurang baik”, tiket dapat “dimainkan”. Kita bisa dapat potongan tetapi kita tidak mendapat tiket penuh (rombangan tetap bisa masuk), ya biasa permainan “oknum-oknum” di lapangan. Pemasukan yang seharusnya besar menjadi kecil akibat adanya “permainan” itu. Akibatnya berimbas pada tempat wisata itu sendiri, fasilitas yang didapat oleh pengunjung tidak maksimal. Tempat umum (toilet, tempat ibadah, istirahat) hanya asal-asalan dan kurang terawat. Sangat disayangkan memang, keindahan alam yang begitu indah merusak suasana hati karena hal-hal yang dirasa cukup sepele.
Inilah wajah tempat wisata di negeri kita, sudah ada yang dikelola secara baik namun masih banyak yang dikerjakan asal-asalan. Dengan segala potensi yang ada tidak dikelola dengan baik, maka tidak heran bila kita –dalam urusan wisata- masih tertinggal dengan negara tetangga.
[caption id="attachment_392392" align="aligncenter" width="386" caption="Berwisata selain bersenang-senang perlu diselipkan unsur edukasi, lokasi: Batu Secret Zoo. Dok pribadi"]
[/caption]
Peran pemerintah (c.q.Kementrian Pariwisata)
Pemerintah yang mempunyai otoritas adalah pihak yang dapat menentukan dunia pariwisata itu maju atau stagnan. Sebagai pengatur jalannya roda pemerintahan yang juga mempunyai wewenang untuk membuat peraturan sebaiknya berperan sebagai regulator. Aturan yang jelas (serta tegas) harus ada agar semuanya berjalan tertib dan terencana. Dengan demikian pemerintah yang mengatur berbagai pihak yang berkompeten agar dunia pariwisata berjalan dengan baik. Godaan turut serta sebagai operator kadang diperlukan juga. Namum jangan sampai terjadi tumpang tindih dan siap bersaing dengan pihak swasta.
Jika ingin berperan sebagai operator dengan segala pertimbangan yang ada, dapat bekerja sama dengan pihak swasta. Contoh yang bagus adalah pengelolaan Taman Impian Jaya Ancol di Jakarta. Ancol merupakan pengeloaan dengan pihak swasta yang pemerintah hanya berperan sebagai pemegang saham. Atau jalan tengah lainnya adalah membentuk badan usaha khusus di bidang pariwisata layaknya seperti BUMN yang sudah ada. Langkah ini diambil agar pengelolaan pariwisata dilakukan secara profesional yang dampaknya bisa pada bidang yang lain.
Dunia pariwisata tidaklah dapat berdiri sendiri. Pemerintah dapat pula membentuk institusi yang berada pada satu atap, seperti halnya SAMSAT yang mengurusi kendaraan bermotor. Intitusi tersebut dapat berasal dari berbagai unsur: dari pemerintahan, perhubungan, pertahanan, ataupun luar negeri. Dengan demikian dunia pariwisata dapat dikelola dengan baik dengan mensinergikan berbagai pihak (daerah-pusat, pemerintah-swasta, domestik-internasional), sehingga tidak ada kesan tumpang tindih.
[caption id="attachment_392393" align="aligncenter" width="386" caption="Demi kemajuan industri pariwisata: anti kritik dan masukan dari masyarakat. Dok pribadi"]
[/caption]
Pemerintah berperan Tut Wuri Handayani
Peran pemerintah dalam pengembangan dunia pariwisata masih sangat kurang. Bali yang maju dunia pariwisatanya -bisa jadi- ini terjadi karena komitmennya para investor mengembangkannya, bukan karena peran pemerintah. Diharapkan kehadiran pemerintah adalah sebagai pendorong (Tut Wuri Handayani) kemajuan dunia pariwisata Indonesia. Peran swasta dan pemberdayaan masyarakat yang lebih ditingkatkan, sehingga semua pihak dapat berperan serta.
Pemerintahan baru (Jokowi-JK) dengan Kabinet Kerjanya menempatkan Kementrian Pariwisata sebagai ujung tombaknya dalam mewujudkan kemajuan dunia pariwisata nasional. Terlalu banyak dan luas potensi wisata yang bisa diangkat, dan itu harus dikerjakan secara baik dan benar. Peran swasta sudah cukup baik dalam mengelola indiustri pariwisata namunperlu juga dukungan (endorsement) pemerintah agar dapat tumbuh lebih baik lagi.
Tujuan yang lebih tinggi lagi adalah bagaimanana potensi wisata negeri kita dapat dihargai oleh kita sendiri (wisatawan domestik) serta dapat dilirik lebih banyak lagi oleh wisatawan luar negeri (turis manca negara). Ketertarikan para wisatawan itu karena tujuan wisata itu mempunyai nilai lebih (unik, jarang, spesial, spektakuler), dan negeri kita mempunyai persyaratan itu semua.
Peran pemasaran (marketing) sangat berperan di sini. Pemerintah harus bisa mengenalkan potensi wisata dalam negeri buat wisatawan domestik dan internasional. Pemerintah dapat melakukan program pertukaran wisatawan dalam negeri layaknya pertukaran pelajar. Ini sangat penting kita sebagai bangsa kadang lebih tahu (baca: mengunjungi) daerah wisata di luar dibanding di dalam. Salah satu sebabnya adalah memang kurangnya informasi dan komunikasi antar daerah. Pemerintah pusat (baca: Kementrian Pariwisata) harus bisa menjembatani dan menjadi pemecah masalah dari semua persoalan tersebut. Jika semua hambatan dapat teratasi maka bersaing dengan negara tetangga (tidak telalu jauh: Singapura atau Malaysia) dapat kita menangkan paling tidak mengimbangi.
[caption id="attachment_392394" align="aligncenter" width="386" caption="Kawasan Bromo yang begitu indah, perlu penanganan yang lebih baik lagi untuk menuju pentas dunia. Dok pribadi"]
[/caption]
Agresif-protektif
Dengan segala potensinya, pariwisata Indonesia harus maju. Banyak yang bisa diangkat dan dipromosikan: keindahan alam, kekayaan budaya, dan serta kuliner. Kita boleh agresif untuk mewujudkannya. Namun yang perlu digarisbawahi jangan sampai kemajuan itu akan melunturkan atau bahkan merusak tatanan nilai-nilai kepribadian bangsa serta lingkungan hidup. Untuk itu perlu dilakukan tindakan protektif terhadap hal-hal yang sekiranya dapat merusak. Salah satunya adalah melalui kebijakan yang tepat dalam mengakomodasi semua kepentingan.
Banyaknya wisatawan yang berkunjung terutama dari luar negeri –sedikit banyak- akan pula membawa budayanya sendiri. Ketahanan diri sebagai bangsa harus dipertahankan, jangan sampai karena uang (baca: devisa) mengorbankan tatanan luhur bangsa.
Kita dapat melihat seperti Thailand yang maju dalam industri pariwisatanya, boleh juga dibilang surganya “kenikmatan”. Namun di lain sisi juga ada efek yang –boleh disebut-negatif: maraknya prostitusi, berimas pula perdagangan manusia (human trafficking), serta tingginya penyandang HIV-AIDS. Inilah yang harus dihindari dalam dunia wisata Indonesia, sebisa mungkin menghindari judi, alkohol, dan sex. Pemerintah dan semua pihak yang berkompeten harus sekreatif mungkin memajukan dunia wisata tanpa harus mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan dan kelestarian lingkungan hidup, ini adalah pekerjaan yang tidak ringan memang tetapi bukan berarti tidak bisa.
@hersup
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H